Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Sebuah Blog yang membahas tentang ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosila dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Sabtu, 15 Desember 2012

Materi Sosiologi Politik


Gerakan sosial
Gerakan sosial (bahasa Inggris:social movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.
Jenis
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/7e/Types_of_social_movements.svg/400px-Types_of_social_movements.svg.png
http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf5/skins/common/images/magnify-clip.png
Jenis gerakan sosial.[1]
Para sosiolog membedakan gerakan sosial kedalam beberapa jenis:
  • Lingkup
    • Gerakan reformasi - gerakan yang didedikasikan untuk mengubah beberapa norma, biasanya hukum. Contoh gerakan semacam ini akan mencakup seperti, serikat buruh dengan tujuan untuk meningkatkan hak-hak pekerja, gerakan hijau yang menganjurkan serangkaian hukum ekologi, atau sebuah gerakan pengenalan baik yang mendukung atau yang menolak adanya, hukuman mati atau hak untuk dapat melakukan aborsi. Dalam beberapa gerakan reformasi memungkinkan adanya penganjuran perubahan tehadap norma-norma moral misalkan, mengutuk pornografi atau proliferasi dari beberapa agama. Sifat gerakan semacam itu tidak hanya terkait dengan masalah tetapi juga dengan metode yang dipergunakan, dari kemungkinan ada penggunaan metode yang sikap reformis non-radikal yang akan digunakan untuk pencapaian akhir tujuan, seperti dalam kasus aborsi agar dapat tercipta adanya pembuatan hukum perundangan-undangan.
    • Gerakan radikal - gerakan yang didedikasikan untuk adanya perubahan segera terhadap sistem nilai dengan melakukan perubahan-perubahan secara substansi dan mendasar, tidak seperti gerakan reformasi, Contohnya termasuk Gerakan Hak Sipil Amerika yang penuh menuntut hak-hak sipil dan persamaan di bawah hukum untuk semua orang Amerika (gerakan ini luas dan mencakup hampir seluruh unsur-unsur radikal dan reformis), terlepas dari ras, yang di Polandia dikenal dengan nama Solidaritas /(Solidarność) gerakan yang menuntut transformasi dari sebuah tata nilai politik Stalinisme menuju kepada tata nilai sistem poltik sistem ekonomi atau ke dalam tata nilai sistem poltik demokrasi atau di Afrika Selatan disebut gerakan penhuni gubuk Abahlali baseMjondolo yang menuntut dimasukkannya para penghuni gubuk secara penuh ke dalam penghunian kehidupan kota.
  • Jenis perubahan
    • Gerakan Inovasi - gerakan yang ingin mengaktifkan norma-norma tertentu, nilai-nilai, dan lain-lain gerakan advokasi yang tak umum kesengajaan untuk efek dan menjamin keamanan teknologi yang tak umum adalah contoh dari gerakan inovasi.
    • Gerakan Konservatif - gerakan yang ingin menjaga norma-norma yang ada, nilai, dan sebagainya Sebagai contoh, anti-abad ke-19, gerakan modern menentang penyebaran makanan transgenik dapat dilihat sebagai gerakan konservatif dalam bahwa mereka bertujuan untuk melawan perubahan teknologi secara spesifik, namun mereka dengan cara yang progresif gerakan yang hanya bersikap anti-perubahan (misalnya menjadi anti-imigrasi) sedang untuk hasil tujuan kepentingan tidak pernah didapat hanya merupakan bersifat bertahan.
  • Target
    • Gerakan fokus berkelompok - bertujuan memengaruhi atau terfokus pada kelompok atau masyarakat pada umumnya, misalnya, menganjurkan perubahan sistem politik. Beberapa kelompok ini akan berubah atau menjadi atau akan bergabung dengan partai politik, tetapi banyak tetap berada di luar sistem partai politik partai.
    • Gerakan fokus Individu - fokus pada yang memengaruhi secara personal atau individu. Sebagian besar dari gerakan-gerakan keagamaan akan termasuk dalam kategori ini.
  • Metode kerja
    • Gerakan damai yang memperlihatkan untuk berdiri kontras dengan gerakan 'kekerasan'. Gerakan Hak-Hak Sipil Amerika, Gerakan Solidaritas Polandia yang tanpa penggunaan kekerasan, selalu berorientasi sipil dan sayap gerakan kemerdekaan India boleh dimasukan ke dalam kategori ini.
    • Gerakan kekerasan umumnya merupakan gerakan bersenjata misalkan berbagai Tentara Pembebasan Nasional seperti, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista dan gerakan pemberontakan bersenjata lainnya.
  • Lama dan baru
    • Gerakan lama - gerakan untuk perubahan yang telah ada sejak awal masyarakat, sebagian besar merupakan gerakan-gerakan abad ke-19 berjuang untuk kelompok-kelompok sosial tertentu, seperti kelas pekerja, petani, orang kulit putih, kaum bangsawan, keagamaan, laki-laki. Mereka biasanya berpusat di sekitar beberapa tujuan materialistik seperti meningkatkan standar hidup atau, misalnya, otonomi politik kelas pekerja.
    • Gerakan baru - gerakan yang menjadi dominan mulai dari paruh kedua abad ke-20 - seperti gerakan feminis, gerakan pro-choice, gerakan hak-hak sipil, gerakan lingkungan, gerakan perangkat lunak bebas, gerakan hak-hak gay, gerakan perdamaian, gerakan anti-nuklir, gerakan alter-globalisasi dan lain lain, Kadang-kadang gerakan ini dikenal sebagai gerakan sosial baru. Mereka biasanya berpusat di sekitar isu-isu yang sama yang tidak terpisahkan dari masalah sosial.
  • Jangkauan
    • Gerakan secara internasional - gerakan sosial yang mempunyai tujuan serta sasaran secara global. Gerakan-gerakan seperti yang pertama kali dilakukan aliran Marx kemudian seperti Forum Sosial Dunia, Gerakan atiglobalisasi dan gerakan anarkis berusaha untuk mengubah masyarakat secara global.
    • Gerakan lokal - sebagian besar dari gerakan sosial memiliki lingkup lokal.gerakan yang didasarkan pada tujuan lokal atau regional, seperti melindungi daerah alam tertentu, melobi untuk penurunan tarif tol di jalan tol tertentu, atau mempertahankan bangunan yang akan dihancurkan untuk gentrifikasi agar dapat mengubahnya menjadi pusat-pusat sosial.
    • Gerakan semua tingkatan - gerakan sosial yang berkaitan dengan kompleksitas pemerintahan di abad ke-21 dan bertujuan untuk memiliki pengaruh di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional.
Dinamika gerakan sosial
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d5/Stages_of_social_movements.svg/400px-Stages_of_social_movements.svg.png
http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf5/skins/common/images/magnify-clip.png
Tahapan gerakan sosial.[2]
Gerakan sosial tidak bersifat terus-menerus karena memiliki siklus hidup kurang-lebih sebagai berikut: diciptakan, tumbuh, pencapaian sasaran akhir atau berikut kegagalannya , terkooptasi dan kehilangan semangat.
Menurut data yang diambil dari Wikipedia.org dan diproses dengan otak pas-pasan, Gerakan Sosial atau social Movement adalah aktivitas sosial berupa gerakan atau tindakan sekelompok orang yang bersifat informal atau organisasi, Suatu Gerakan sosial biasa berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.
Kata “Gerakan Sosial” sendiri diperkenalkan pertama kali pada 1848 pada oleh Sosiolog Jerman, Lorenz Von Stein dalam bukunya yang berjudul “Socialist & Communist Movement since the Third French Revolution” . Pada saat itu gerakan sosial bersifat massive dan biasanya timbul dengan maksud penolakan ataupun perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Pergerakan Buruh dan Sosialis pada Abad 19 adalah contoh prototype dari Social Movement jaman dahulu yang masih mengandalkan kendaraan politik berupa organisasi atau partai. Paska Perang Dunia Kedua, kita masuk kedalam periode reformasi dan perubahaan yang disebut Post-War Periode, pada saat itu berjamuran berbagai gerakan sosial dipicu semakin bebasnya masyarakat untuk berekspresi dan menuntut haknya. “Demokrasi”.
Berasal dari berbagai keresahan diberbagai bidang, berbagai gerakan pun bermunculan, mulai dari Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya, Pendidikan, Kesehatan dan Lain-lain. Barulah pada Abad 21 saat teknologi dan globalisasi merubah drastic pola pikir, budaya, transaksi dan gaya hidup masyarakat, Gerakan Sosial juga mengalami Evolusi, Gerakan sosial kini menjadi lebih spesifik mengangkat kasus tertentu dan mulai meninggalkan organisasi formal sebagai kendaraan aspirasinya.
Internet terutama jejaring sosial / Social Media menjadi salah satu faktor yang mengubah pola pergerakan sosial di Dunia. Internet dengan akses tak terbatasnya membuat aliran komunikasi semakin mudah, pengetahuan dan informasi terbuka bebas di maya dan merebaknya demam Social Media semakin mempermudah individu untuk mengekspresikan diri, mengungkapkan pendapat bahkan menyerang satu sama lain dalam wadah jejaring sosial.
Evolusi Social Movement terjadi, kini Gerakan sosial mulai meninggalkan Organisasi Formal sebagai kendaraan apresiasinya. Kini masyarakat berkumpul dalam sebuah wadah informal dengan kebebasan seluas-luasnya. Faktor kepentingan golongan lambat laun tergeser, isu spesifik membuat masyarakat semakin objektif. Dengan terlalu mudahnya bergabung dalam sebuah kelompok dan menghimpun dukungan, juga menimbulkan efek negative, yaitu munculnya “Click Activism” yang dengan hanya melakukan klik seseorang sudah merasa memberikan dukungan dan bertindak. Padahal sebuah gerakan tidak akan menimbulkan efek dan mencapai tujuannya, tanpa sebuah gerakan nyata. Kita dapat melihat itu semua di Twitter ataupun Facebook dimana ratusan gerakan sosial menggalang dukungan dan melakukan aksinya di dunia maya.
Semoga tingginya teknologi dan akses informasi, terutama internet dan social media tidak membuat kita hanya menjadi seorang ”Click Activist” tetapi juga ikut malakukan tindakan nyata. Sebenarnya hal tersebut dapat dimulai dari “Kelompok atau Organisasi Social Movement itu sendiri, dengan mencanangkan program yang tidak melulu beraksi di dunia maya, namun juga melakukan kegiatan kegiatan off air seperti kopdar ataupun aksi sosial sesuai isu yang ingin ditanganinya. Demikian dan salam.
Perkembangan Gerakan Sosial secara Konsep
Kasus Prita lebih tepat disebut Collective action daripada gerakan sosial. Jika Kasus Prita diarahkan untuk memperjuangkan citizenships (kewargaan) maka dapat disebut sebagai gerakan sosial. Meskipun keluhan Prita dianggap hanya sebatas hubungan pasien dengan rumah sakit, namun secara tidak sadar telah tumbuh kesadaran sebagai warga negara yang menuntut haknya.  Menurut Ganda Upaya, “Kesadaran mengenai kewargaan di Indonesia kurang”, kasus Prita ini sebenarnya dapat digunakan sebagai momentum namun berhenti ketika kasus hukumnya (sementara) berhenti.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi gerakan sosial, yang pertama gerakan tersebut memperjuangan “ID” atau identitas. Misalnya gerakan yang memperjuangan perempuan, lingkungan, partisipasi politik, dan lain sebagainya yang mewakili tujuannya. Kemudian "ID" ini ditujukan kepada siapa?  (Baca Iwan Gardono Sujatmiko; Gerakan sosial dan Dinamika Masyarakat). Jika gerakan tersebut ditujukan kepada state (negara) maka disebut sebagai gerakan politik, karena gerakan ini bertujuan untuk merubah kebijakan. Tetapi  “ID” akan menjadi gerakan sosial ansih jika hubungannya horizontal. Ganda mencontohkan gerakan perempuan melawan patriarki sebagai gerakan sosial. Faktor kedua adalah aktor yang muncul untuk memperjuangkan gerakan tersebut. Aktor dapat berupa seorang tokoh maupun kelompok. Dan yang terakhir adalah organisasi.
Resource Mobilization Theory and Smos
Organisasi tidak dapat lepas dari gerakan sosial. Mengapa? Ganda memaparkan teori ini dengan mengangkat permasalahan organisasi khususnya Non-Government Organization (NGO) di Amerika Latin. Bahwa ada persoalan pada organisasi dimana pemimpin/elitnya tidak jelas (maksudnya ingin terus memimpin), tidak transparan, dan tidak jelas merepresentasikan siapa atau kelompok mana. Oleh sebab itu organisasi yang mendorong gerakan sosial harus dapat membuat framing/kerangka/jargon atau lebih tepat disebut sebagai agenda perjuangan bersama. Berikutnya komitmen yang adalah keterikatan untuk bertanggungjawab menjalankan agenda, dan terakhir adalah spirit the corps. Ganda menjelaskan bahwa bisa saja kita gebrak-gebrak meja didalam (organisasi), tapi begitu tampil diluar sikap dan pernyataan kita membawa agenda organisasi.
Bagaimana dengan NGO di Indonesia sendiri? NGO di Indonesia mengalami fragmentasi perjuangan yang sebabkan oleh ego sektoral dan terlebih lagi elitnya menjadi oligarki. Kelemahan lainnya adalah ketika pergantian pemimpin, organisasi tersebut tidak berkembang. Maka gerakan sosial sendiri tidak mudah berkembang karena ada persoalan pada tiga hal tersebut (organisasi, komitmen dan leadership).
Gerakan sosial mensyaratkan membangun network baik ditingkat nasional maupun lokal. Cara membangun network adalah dengan menumbuhkan trust. Pada tingkat lokal harus muncul leader of civil society agar setiap atau seluruh organisasi masyarakat sipil memperjuangkan tujuannya menggunakan gerakan sosial.
Political Process Theory and Smos
Adakah political opportunity dalam gerakan sosial? Jika ingin mengembangkan satu ide, adakah kesempatan dan peluangnya. Apakah rezim ini represif atau tidak? Adakah Undang – undang yang dapat menjadi celah untuk memperjuangkan agenda kita? Maka selain network, gerakan sosial juga membutuhkan kemampuan membuat mapping baik pada tingkat lokal maupun nasional. Tujuannya agar aktor dan organisasi memahami persoalan ekomoni, sosial, budaya pada masing – masing daerah. Kemudian diikuti strategi seperti membuat leaflet,website, workshop, seminar, mengeluarkan statement secara rutin, dan melatih demonstrasi sehingga berkesinambungan dan dapat diukur gagal tidaknya suatu perjuangan maka rangkaian ini disebut sebagai political process.
Muncul pertanyaan, bagaimana membedakan antara gerakan sosial, gerakan ekonomi, gerakan politik, kemudian gerakan cultural dengan gerakan sosial? Ganda kembali memberikan beberapa contoh yang memudahkan misalnya pedagang tradisonal memperjuangan akses Usaha Kecil Menengah (UKM), kelihatannya ekomoni, namun pedagang tersebut memperjuangkan uang dari negara maka gerakan ini disebut gerakan politik. Contoh lain misalnya kawan – kawan NU mengadakan itsigothsah yang terlihat seperti gerakan cultural, namun sebenarnya itsigothsah merupakan salah satu strategi (show of force) agar mendapat perhatian dari pemerintah. Ini juga merupakan gerakan politik. Gerakan sosial berdasarkan sosiologi politik memiliki basis sosial seperti etnik, communal, agama, jender, urbanpoor. Sedangkan berbasis kelas seperti buruh, petani, dsb.
Cultural and Cognitive Theories and Smos
Gerakan sosial mengedepankan soal identitas, mengambil contoh gerakan gay dan lesbian. Kelompok ini menyuarakan kepentingannya lebih pada hubungan horizontal yang ada yaitu masyarakat. Counter movement selalu ada sebagai dialektika sosial. Meskipun tidak memiliki organisasi, namun gerakan ini berkaitan dengan value  dan benefit dimana gerakan ini memiliki kesamaan cita – cita untuk menuntut pengakuan indentitas. Contoh lain misalnya tidak mungkin membuat gerakan melawan budaya partiarki di Aceh. Hal ini mengingatkan kita bahwa gerakan sosial mensyaratkan organisasi melakukan mapping terlebih dahulu agar memperoleh social and cultural context.
Menyinggung tentang Blok Politik Demokratik (BPD) Demos yang sulit menyatukan isu, sektor dan gerakan, Ganda Upaya berpendapat bahwa ide BPD harus dijabarkan dalam framing yang tepat agar petani, melayan, buruh dan sektor lain merasa terwakili. Strateginya dengan melakukan mapping terlebih dahulu ditingkat grass roots. Berdasarkan pengalamannya, secara sosial, grass roots tidak percaya pada nasional. Demos harus membangun social trust dengan network, yang terakhir BPD harus memiliki pemimpin yang komunikatif serta diakui ditingkat lokal.

 

Demokrasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf4/skins/common/images/magnify-clip.png
Demokrasi memungkinkan rakyat menentukan pemimpinnya melalui pemilihan umum.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).[1] Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",[2] yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.[3] Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat).[4] Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".[5] Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan.[6] Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.[7]
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka.[5] Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.[5] Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja.[8] Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.[9] [8]
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis.[10] Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan.[11] Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.[11]

Sejarah demokrasi

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia.[9] Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen.[9] Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.[9]
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern.[9] Yunani kala itu terdiri dari 1,500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen.[12] [3] Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi.[3] Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung.[13] Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan.[3] Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan.[3] Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena.[3] Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan.[14] Namun dari sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.[8]
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM.[9] Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.[14]

Bentuk-bentuk demokrasi

Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.[5]

Demokrasi langsung

Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan.[5] Dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi.[5] Sistem demokrasi langsung digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena dimana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul untuk membahasnya.[5] Di era modern sistem ini menjadi tidak praktis karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat dalam satu forum merupakan hal yang sulit.[5] Selain itu, sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik negara.[5]

Demokrasi perwakilan

Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.[5]

 

Prinsip-prinsip demokrasi

Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15] Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi".[16] Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:[16]
  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Asas pokok demokrasi

Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.[17] Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:[17]
  1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
  2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Ciri-ciri pemerintahan demokratis

Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.[4] Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:[4]
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).

Definisi atau Pengertian Paham Demokrasi - Secara etimologi pengertian demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni “demos” yang artinya rakyat dan “kratos/kratein” artinya kekuasaan/ berkuasa. Jadi demokrasi adalah kekuasaan ada ditangan rakyat.

Dalam hal ini demokrasi berasal dari pengertian bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Maksudnya kekuasaan yang baik adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sejarah demokrasi berasal dari sistem yang berlaku di negara-negara kota (city state) Yunani Kuno pada abad ke 6 sampai dengan ke 3 sebelum masehi. Waktu itu demokrasi yang dilaksanakan adalah demokrasi langsung yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negaranya yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas hal tersebut dimungkinkan karena negara kota mempunyai wilayah yang relatif sempit dan jumlah penduduk tidak banyak (kurang lebih 300 ribu jiwa). Sedangkan waktu itu tidak semua penduduk mempunyai hak :
  • bersifat langsung dari demokrasi Yunani Kuno dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduknya sedikit (kurang lebih 300 ribu jiwa dalam satu kota).
    Ketentuan demokrasi yang hanya berlaku untuk warga negara resmi.
  • Hanya bagian kecil dari penduduk.
Gagasan demokrasi Yunani hilang dari dunia Barat ketika Romawi Barat dikalahkakn oleh suku German. Dan Eropa Barat memasukkan Abad Pertengahan (AP).

Abad pertengahan di Eropa Barat dicirikan oleh struktur total yang feodal (hubungan antara Vassal dan Lord). Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejajabat agama lawuja. Kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antar bangsawan.

Dari sudut perkembangan demokrasi AP menghasilkan dokumen penting yaitu Magna Charta 1215. Ia semacam contoh antara bangsawan Inggris dengan Rajanya yatu John. Untuk pertama kali seorang raja berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak bawahannya.

Mungkin Anda belum tahu siapa pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi. pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi antara lain: John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Mostesquieu dari Perancis (1689-1755).

Menurut Locke hak-hak politik mencakup atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property).

Montesquieu, menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik dengan pembatasan kekuasaan yang dikenal dengan Trias Politica.

Trias Politica menganjurkan pemisahan kekuasaan, bukan pembagian kekuasaan. Ketiganya terpisah agar tidak ada penyalahgunaan wewenang. Dalam perkembangannya konsep pemisahan kekuasaan sulit dilaksanakan, maka diusulkan perlu meyakini adanya keterkaitan antara tiga lembaga yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Pengaruh paham demokrasi terhadap kehidupan masyarakat cukup besar, contohnya:
  • perubahan sistem pemerintahan di Perancis melalui revolusi.
  • revolusi kemerdekaan Amerika Serikat (membebaskan diri dari dominasi Inggris).
Saat ini demokrasi telah digunakan sebagai dasar dalam sistem pemerintahan di berbagai negara, termasuk dengan Indonesia. Di Indonesia istilah demokrasi ada kalanya digandengkan dengan kata Liberal, Terpimpin dan Pancasila.

Seringkah Anda mendengar kata-kata tersebut?

Namun perlu Anda ketahui, bahwa di sana terdapat perbedaan aliran pemikiran dalam penerapannya. Perbedaan itu menimbulkan berbagai macam penerapan pemerintahan.

Macam-macam demokrasi pemerintahan yang dianut oleh berbagi bangsa di dunia adalah demokrasi parlementer, demokrasi dengan pemisahan kekuasaan dan demokrasi melalui referendum. Marilah kita bahas satu-persatu.

1. Demokrasi Parlementer, adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara.
2. Demokrasi dengan sistem pemisahan kekuasaan, dianut sepenuhnya oleh Amerika Serikat. Dalam sistem ini, kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif dipegang Presiden, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung.
Dengan adanya pemisahan kekuasaan seperti itu, akan menjamin keseimbangan dan menghindari penumpukan kekuasaan dalam pemerintah.
3.      Demokrasi melalui Referendum
Yang paling mencolok dari sistem demokrasi melalui referendum adalah pengawasan dilakukan oleh rakyat dengan cara referendum. Sistem referendum menunjukkan suatu sistem pengawasan langsung oleh rakyat. Ada 2 cara referendum, yaitu referendum obligator dan fakultatif.
 Referendum obligator atau wajib lebih menekankan pada pemungutan suara rakyat yang wajib dilakukan dalam merencanakan pembentukan UUD negara, sedangkan referendum fakultatif, menenkankan pada pungutan suara tentang rencana undang-undang yang sifatnya tidak wajib.

Sosiologi politik
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-aggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Dalam pengertian lain, rekrutmen politik merupakan fungsi penyelekksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan sebagainya.
Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang direkrut adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan politik. Setiap partai juga memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pada referensi yang lain, kita bisa menemukan definisi atau pengertia rekrutmen politik yang lebih memperhatikan sudut pandang fungsionalnya, yaitu “The process by which citizens are selected for involvement in politics”. Pengertia tersebut di atas menjelaskan bahwa rekrutmen politik adalah proses yang melibatkan warga negara dalam politik.
Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari seleksi administrative, penelitian khusus yanitu menyangkut kesetiaaan pada ideology Negara.
Adapun beberapa pilihan partai politik dalam proses rekrutmen politik adalah sebagai berikut;
  1. Partisan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas tinggi terhadap partai sehingga bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis. 
  2. Compartmentalization, merupakan proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang, misalnya aktivis LSM. 
  3. Immediate survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut. 
  4. Civil service reform, merupakan proses rekrutmen berdasarkan kemampuan dan loyalitas seorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting atau lebih tinggi. 

Ada beberapa hal menurut Czudnowski, yang dapat menentukan terpilihnya seseorang dalam lembaga legislatif, sebagaimana berikut;
  1. Social background : Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga, dimana seorang calon elit dibesarkan. 
  2. Political socialization : Merupakan suatu proses yang menyebabkan seorang menjadi terbiasa dengan tugas-tugas yang harus diilaksanakan oleh suatu kedudukan politik. 
  3. Initial political activity : Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau pengalaman politik calon elit selama ini. 
  4. Apprenticeship : Faktor ini menunjuk langsung kepada proses “magang” dari calon elit ke elit yang lain yang sedang menduduki jabatan yang diincar oleh calon elit. 
  5. Occupational variables : Calon elit dilihat pengalaman kerjanyadalam lembaga formal yang bisa saja tidak berhubungan dengan politik, kapasitas intelektual dalam kualitas kerjanya. 
  6. Motivations : Orang akan termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal yaitu harapan dan orientasi mereka terhadap isu-isu politik. Selection : Faktor ini menunjukkan pada mekanisme politik yaitu rekrutmen terbukan dan rekrutmen tertutup.
Rekrutmen politik yang baik seharusnya dimulai dengan pendidikan politik yang dilakukan secara berkesinambungan oleh partai politik. Namun banyak partai politik tidak melakukannya karena berbagai kendala. Misalnya masalah keuangan yang memang menjadi masalah besar dalam perkembangan partai politik di Indonesia.  Selain itu, tidak jelasnya ideologi partai politik berdampak pula pada visi, misi dan program yang partai politik tersebut.  Sukar dinafikan partai politik di Indonesia belum memiliki tanggung jawab mencerdaskan masyarakatnya berpolitik. Bahkan partai politik tidak dapat melaksanakan rencana stategisnya seperti rekrutmen anggota secara berkesinambungan, pembinaan kader secara konsisten serta pengembangan kader ke tahap pembentukan elite politik.  Ini semua merupakan bukti belum maksimalnya fungsi partai politik di negeri ini.
Rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat juga dapat dilihat dari kesulitan partai politik menyusun daftar calon keanggotaan legislatif yang diajukan setiap pemilu.  Tidak berjalannya pendidikan politik berdampak pada kualitas wakil rakyat yang diajukan partai politik.  Paling tidak dari dua pemilu sebelumnya dapat diambil pelajaran siapa yang dipilih dan bagaimana mekanisme mereka dipilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPR dan DPRD masih belum jelas.  Kurangnya kader partai dan menguatnya politik kekerabatan berdampak pada proses penentuan calon anggota legislatif ini.  Celakanya, dengan bertambahnya partai politik peserta pemilu tahun 2009 tentu membawa dampak pada kualitas wakil rakyat yang akan diajukan partai politik.
Sukar dinafikan rendahnya kesadaran partai politik melakukan pendidikan politik ini telah mempengaruhi kualitas demokrasi yang dihasilkan.  Banyaknya konflik dalam Pilkada bahkan disertai dengan tindakan anarkisme adalah bukti masih rendahnya pendidikan politik masyarakat kita.  Bahkan rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat ini sengaja dibiarkan, agar  elite partai mudah memobilisasi dukungan untuk kepentingannya. Oleh sebab itu agar kualitas demokrasi meningkat, maka partai politik harus memberi perhatian serius pada proses rekrutmen politik ini.  Tanpa ada kepedulian partai politik terhadap proses rekrutmen politik, maka demokrasi yang dihasilkan tidak memberi kemanfaatan apa-apa bagi bangsa ini.

Rekrutmen Politik Pada Pemilu Legislatif 2009
Salah satu proses politik yang penting bagi partai politik menjelang pemilu tahun 2009 adalah rekruitmen politik.  Proses ini sangat menentukan bagi kelangsungan aktivitas partai politik dan kualitas demokrasi.  Betapa tidak,  penetapan calon anggota legislatif yang duduk di kursi parlemen ditentukan oleh jumlah suara dukungan yang diperolehnya.  Paling tidak dengan 30 persen suara dukungan riil dalam pemilu dapat mengantar seorang calon duduk menjadi wakil rakyat, meskipun dalam daftar calon legislatif nomor urutnya termasuk nomor besar.  Ini bermakna kualitas calon anggota legislatif sangat menentukan perolehan suara partai politik dalam pemilu mendatang.
Melihat keadaan ini dapat dipahami proses rekrutmen yang dilakukan partai politik menjadi titik permulaan yang harus dilakukan partai politik terutama dalam proses pengkaderan anggotanya maupun promosi elite politik baru.  Namun bagi sebagian besar partai politik di negeri ini masalah tersebut tidaklah begitu diambil peduli.  Kebanyakan partai politik hanya berorientasi bagaimana mendapat kekuasaan secara cepat dengan biaya murah sehingga mengabaikan rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik adalah sebagai fungsi mengambil individu dalam masyarakat untuk dididik, dilatih sehingga memiliki keahlian dan peran khusus dalam sistem politik.  Dharapkan dari proses rekrutmen ini individu yang dididik dan dilatih tersebut memiliki pengetahuan, nilai, harapan dan kepedulian politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi.
Sebenarnya rekrutmen politik ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktifitas partai politik di manapun berada.  Sayangnya di Indonesia, fungsi ini baru dapat berjalan ketika pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi rekrutmen politik ini sebenarnya sudah dapat dijumpai terutama sejak verifikasi partai politik dilakukan oleh KPU.  Seandainya proses verifikasi keanggotaan partai politik di tingkat akar rumput dilakukan lebih cermat oleh KPU, maka dapat dilihat bagaimana potret partai politik kita yang sebenarnya.

Partisifasi pilitik
Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, memberi catatan berbeda: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik. Potret Indonesia

Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani). 

Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
  1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 
  2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 
  3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 
  4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 
  5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
Mode Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.

Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
  1. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu; 
  2. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; 
  3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah; 
  4. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan 
  5. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.

Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.

Dimensi Subyektif Individu
Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political Efficacy.
Political Disaffection. Political Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.
Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy. Political Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Political Efficacy ini.

Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah Political Efficacy ini adalah: 
  1. “Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.” 
  2. "Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.” 
  3. “Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.” 
  4. “Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti saya.” 
Political efficacy terbagi 2 yaitu external political efficacy dan internal political efficacy. External political efficacy ditujukan kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan nomor 1 dan 3. Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan nomor 2 dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy rendah dan tingkat external political efficacy tinggi.

Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik.
Menurut Dusseldorp (1994:10), salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari bentuk-bentuk keterlibatan seseorang dalam berbagai tahap proses pembangunan yang terencana mulai dari perumusan tujuan sampai dengan penilaian. Bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai usaha terorganisir oleh warga masyarakat untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya public policy. Sehingga kualitas dari hierarki partisipasi politik masyarakat dilihat dalam keaktifan atau kepasifan (apatis) dari bentuk partisipasi politik masyarakat
1. Bentuk partisipasi politik secara hierarkis oleh Rush dan Althoff (1990:124) :
a) Menduduki jabatan politik atau administrasi
b) Mencari jabatan politik atau administrasi
c) Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
d) Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
e) Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
f) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
g) Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb
h) Partisipasi dalam diskusi politik informasi, minat umum dalam politik
i) Voting (pemberian suara)
j) Apathi total.
2. Bentuk partisipasi politik menurut Almond.
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan non-konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan/ketidakpuasan warga negara. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond.
Konvensional Non-konvensional
• Pemberian suara (voting) • Pengajuan petisi
• Diskusi politik • Berdemonstrasi
• Kegiatan berkampanye • Konfrontasi
• Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan • Mogok
• Komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif • Kekerasan politik terhadap harta benda: perusakkan, pemboman, dan pembakaran
• Kekerasan politik terhadap manusia: penculikkan, pembunuhan, perang gerilya/revolusi
Ada berbagai bentuk partisipasi politik, terlepas dari tipe sistem politik yang bersangkutan, yaitu: para politisi profesional, para pemberi suara, aktifis-aktifis partai, dan para demonstaran dll. Betapapun juga penting untuk menempatkan posisi sebenarnya dari aktifitas politik, dan melihat apakah terdapat semacam hubungan hierarkis antara peristiwa-peristiwa tadi. Barangkali saja, hierarki yang paling sederhana dan paling berarti ialah hierarki yang didasarkan atas taraf atau luasnya partasipasi.
Hierarki yang dinyatakan dibawah ini, dimaksudkan untuk mencakup seluruh jajaran partisipasi politik dan untuk dapat diterapkan pada semua tipe sistem politik. Arti berbagai tingkat ini, tentunya mungkin berbeda dari satu sistem politik dengan sistem politik yang lain, dan tingkatan-tingkatan khusus menyebabkan akibat besar pada suatu sistem, dan akibat kecil atau tanpa mempunyai akibat apapun pada sistem lainnya.
Adalah penting juga untuk disadari bahwa partisipasi pada satu tingkatan hierarki tidak merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkatan yang lebih tinggi, walaupun mungkin hal ini berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu. Hierarki tersebut adalah sebagai berikut1 :
    1. Menduduki jabatan politik atau administratif
    2. Mencari jabatan politik atau administratif
    3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
    4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
    5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political)
    6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi political)
    7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya
    8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
    9. Voting (pemberi suara)
Pada puncak hierarki terdapat orang-orang yang menduduki berbagai macam jabatan dalam sistem politik, baik pemegang-pemegang jabatan politikmaupun anggota-anggota birokrasi pada berbagai tingkatan. Di bawah para pemegang atau pencari jabatan di dalam sistem politik, terdapat mereka yang menjadi anggota dari berbagai tipe organisasi politik atau semu politik. Hal ini mencakup semua tipe partai politik dan kepentingan.

BUDAYA DAN PARTISIPASI POLITIK
BUDAYA POLITIK (POLITICAL CULTURE)
•          Adalah sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yg ada di dalam sistem itu (Almond dan Verba)
•          Adalah pola tingkahlaku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yg dihayati oleh anggota dlm satu sistem politik.

KLASIFIKASI BUDAYA POLITIK
•          Budaya politik parokial (parochial political culture);
•          Budaya politik kaula (subject political culture)
•          Budaya politik partisipan (participant political culture)
•          Budaya politik campuran (mixed political cultures).

BUDAYA POLITIK PAROKIAL
•          Budaya politik yg dimiliki oleh masyarakat yg masih sederhana dan tradisional, dengan diferensiasi dan spesialisasi yg masih sangat kurang dan belum ada, dan masyarakat politiknya terbatas. Budaya politik ini terkotak pada suatu wilayah yg ruang lingkupnya relatif sempit seperti propinsi, kabupaten, dsb.

BUDAYA POLITIK KAULA
•          Merujuk pada suatu budaya politik di mana anggota masyarakat mempunyai kepedulian terhadap output sistem politik dibandingkan peduli terhadap input sistem politik.
•          Dalam budaya politik semacam ini, anggota2 sistem politik lebih bersifat pasif.

BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
•          Ditandai oleh partisipasi aktif anggota2 sistem politik. Mereka mempunyai kesadaran yg cukup tinggi menyangkut hak dan kewajibannya, dan dg demikian menuntut untuk senantiasa terlibat dalam kehidupan politik.

BUDAYA POLITIK CAMPURAN
  • Parochial-subject culture
Adl suatu tipe kebudayaan politik di mana sebagian besar penduduk menola tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan thd sistem politik yg lebih kompleks dg struktur2 pemerintahan pusat yg bersifat khusus.
  • Subject-participant culture
Ditandai oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik, sementara pada waktu yg bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah kebijakan.
  • Parochial-participant culture (civic culture)
Di Indonesia ditandai dengan menguatnya wacana kedaerahan pasca diterapkannya otonomi daerah.

BUDAYA POLITIK INDONESIA
•          Menurut Budi Winarno, budaya politik Indonesia bergerak di antara subject-participant culture dan parochial participant culture.

PARTISIPASI POLITIK
•          Adalah keikutsertaan warganegara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut dan mempengaruhi hidupnya (keputusan politik).

CIRI-CIRI PARTISIPASI POLITIK
•          Berupa kegiatan atau perilaku warganegara biasa yg dapat diamati;
•          Diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Misalnya kegiatan untuk mendukung atau menentang keputusan politik;
•          Kegiatan yg berhasil maupun yg gagal mempengaruhi pemerintah;
•          Kegiatan mempengaruhi pemerintah scr langsung maupun tdk langsung;
•          Kegiatan mempengaruhi pemerintah scr konvensional dan tdk konvensional. 

TIPOLOGI PARTISIPASI POLITIK
  • Menurut Milbrath dan Goel:
  1. Apatis, orang yg tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik.
  2. Spektator, setidaknya pernah ikut memilih dlm Pemilu;
  3. Gladiator, mereka yg secara aktif terlibat dlm proses politik.
  4. Pengritik, yakni dlm bentuk partisipasi tak konvensional.
  • Menurut Olsen
  1. Pemimpin politik;
  2. Aktivis politik;
  3. Komunikator;
  4. Warganegara;
  5. Marginal;
  6. Orang yg terisolasikan

MODEL PARTISIPASI POLITIK
•          Faktor2 yg diperkirakan mempengaruhi tinggi rendahnya patisipasi politik seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah. Oleh karenanya menurut Paige terdapat 4 tipe:
1.       Aktif;
2.       Apatis;
3.       Militan-radikal;
4.       pasif 


Tipologi Partisipasi Politik
Partisipasi politik aktif berarti kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output, sedangkan partisipasi pasif hanya berorientasi pada proses output.
Milbrath dan Goel membedakan partisipasi politik memjadi beberapa kategori, (1) apatis yaitu orang yang tidak pernah berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik, (2) spektator yaitu orang yang setidaknya pernah ikut pemilu, (3) gladiator yaitu orang yang terlibat aktif dalam proses politik, (4) pengritik yaitu dalam bentuk partisipasi tak konvensional.
Olsen, membagi pertisipasi menjadi enam lapisan yaitu pemimpin politik, aktivis politik, komunikator, warga Negara, marginal, dan orang yang terisolasikan.
Partisipasi politik berdasarkan jumlah pelaku ada individual yakni seseorang yang menulis surat berisi keluhan da tuntutan kepada pemerintah atau kolektif, sedangkan kolektif adalah kegiatan warga Negara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa. Partisipasi kolektif dibagi menjadi dua yaitu partisipasi kolektif yang konvensional ( pemilu ), dan partisipasi kolektif yang tidak konvensional atau agresif ( pemogokan tidak sah, huru hara, dll ) , secara agresif dibagi lagi menjadi dua yaitu aksi yang kuat dan aksi yang lemah.

Model Partisipasi Politik
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya partisiapasi politik ialah kesadaran politik ( kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara) dan kepercayaan kepada pemerintah ( penilaian seseorang terhadap pemerintah ).
Berdasarkan tinggi-rendahnya partisipasi politik Paige membagi menjadi empat tipe, (1) aktif, jika seseorang memiliki kesadaran dan kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah, (2) apatis, jika seseorang memiliki kesadaran dan kepercayaan yang rendah terhadap pemerintah, (3) militan radikal, kesadaran politik tinggi tapi kepercayaan rendah, (4) pasif, kesadaran sangat rendah tapi kepercayaan sangat tinggi.
Dimensi Gerakan Sosial (social movement)
Hubungan antar-kelompok, baik yang berbentuk hubungan antar-ras, antar-etnik, antar-agama, antar-generasi, antar-jenis kelamin, antara penyandang cacat mental atau fisik dengan mereka yang sehat jasmani atau rohani, ataupun antara orang-orang konformis dengan para penyimpang, sering melibatkan gerkan sosial, baik yang diprakarsai oleh pihak-pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh pihak-pihak yang mempertahankan keadaan.
Contoh gerakan sosial adalah seperti yang diberitakan dalam Majalah Times 13 November 1989 bahwa kaum homoseks di Amerika Serikat memperjuangkan hak untuk menjadi rohaniawan agama Katholik dan berbagai sekte dalam agama Protestan, untuk menjadi anggota angkatan bersenjata, dan untuk menjadi guru di sekolah.
Di berbagai negara kita juga sering mendengar kaum perempuan berorganisasi dalam gerakan pembebasan kaum perempuan dan menentang praktik diskriminasi serta pelecehan seksual.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan gerakan sosial?
Gerakan sosial merupakan suatu aliansi sosial sejumlah besar orang yang berserikat untuk mendorong ataupun menghambat suatu segi perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Gerakan sosial merupakan salah salah satu bentuk perilaku kolektif, tetapi berbeda dengan perilaku kolektif pada umumnya. Pada gerakan sosial ditemukan adanya “tujuan dan kepentingan bersama”. Pada perilaku kolektif pada umumnya, setelah para supporter sepak bola itu merusak stadion dan mobil-mobil yang diparkir, stasiun kereta api, atau fasilitas umum lainnya, karena tidak mempunyai tujuan dan kepentingan bersama, kemudian berhenti begitu saja.
Gerakan sosial ditandai oleh adanya tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah atau mempertahankan keadaan tertentu atau institusi yang ada di dalam masyarakat. Sepertihalnya gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1965-1966 yang dilancarkan hampir setiap hari, bertujuan mengubah kebijakan ekonomi pemerintahan (pembubaran kabinet, penurunan harga, dan pembubaran Partai Komunis Indonesia).  Gerakan mahasiswa di Amerika Serikat menentang perang Vietnam pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an baru berakhir setelah pasukan Amerika Serikat meninggalkan Vietnam Selatan. Contoh lain, gerakan mahasiswa di China yang akhirnya ditindas dengan kekuatan militer di lapangan Tienanmen, merupakan upaya untuk memperjuangkan demokratisasi di Republik Rakyat China. Demikian juga Green Peace yang merupakan gerakan sosial internasional yang melawan semua praktik yang menurut mereka akan mengancam pelestarian lingkungan hidup.
Ada ciri lain yang dikemukakan para sosiolog, bahwa gerakan sosial dalam melakukan perjuangannya mengambil cara-cara yang berada di luar institusi, misalnya pemogokan, pawai dan demonstrasi tanpa izin, mogok makan, intimidasi, konfrontasi dengan aparat keamanan, dan sebagainya.
Gerakan sosial bermacam-macam bentuknya. Apabila dilihat berdasarkan tipe perubahan dan besarnya perubahan yang dikehendaki, maka adalah
  1. Alternative Social Movements
  2. Redemtive Social Movements
  3. Reformative Social Movements
  4. Transformative Social Movements

Perhatikan tabel berikut!

Tipe Perubahan Yang Dikehendaki
Perubahan Perorangan
Perubahan Sosial
Besarnya Perubahan Yang Dikehendaki
Perubahan Sebagian
ALTERNATIVE SOCIAL MOVEMENTS
REFORMATIVE SOCIAL MOVEMENTS
Perubahan Menyeluruh
RODEMPTIVE SOCIAL MOVEMENTS
TRANSFORMATIVE SOCIAL MOVEMENTS
Keterangan tabel:
  1. Alternative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan pada sebagian perilaku perorangan, misalnya gerakan anti-merokok, anti-narkoba, kampanye anti AIDS, dan sebagainya.
  2. Redemptive Social Movements, merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan menyeluruh pada perilaku perorangan, misalnya gerakan agar orang-orang untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya dengan lebih merujuk pada ajaran agama
  3. Reformative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan pada segi-segi tertentu masyarakat, misalnya gerakan kaum perempuan untuk memperoleh hak-haknya sama dengan kaum laki-laki, gerakan kaum homoseks untuk mendapatkan pengakuan akan gaya hidup mereka, dan sebagainya.
  4. Transformative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya gerakan kaum Khmer Merah yang ingin mengubah masyarakat Kamboja sebagai masyarakat komunis, Revolusi di Uni Soviet tahun 30-an, Revolusi China pada tahun 1949, dan sebagainya.
Klasifikasi lain tentang gerakan sosial dikemukakan oleh Kornblum, yaitu (1) revolutionary movements, (2) Reformist Movements, dan (3) conservative movements.
Revolutinary Movements merupakan jenis gerakan sosial yang menginginkan perubahan yang menyeluruh pada sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik itu sistem sosial, sistem budaya, sistem ekonomi, maupun sistem politiknya.
Misalnya, revolutionary Movements masyarakat Rusia pada tahun 1917 yang berhasil mengubah sistem sosial, budaya, ekonomi, maupun politik Rusia menjadi sistem komunis. Demikian juga yang terjadi di China pada 1949. Kedua peristiwa ini memenuhi syarat revolusi yang dikemukakan oleh Antony Giddens, bahwa sebuah revolusi itu; (1) melibatkan gerakan sosial secara massal, (2)  menghasilkan proses reformasi atau perubahan, dan (3) menggunakan ancaman dan kekerasan.
Reformative atau reformist Movements merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan pada segi-segi tertentu kehidupan masyarakat. Misalnya gerakan Boedi Oetomo (1908) atau Syarikat Islam (1912) yang menginginkan terpenuhinya hak-hak memperoleh pendidikan di kalangan pribumi.
Sedangkan conservative movements, merupakan gerakan sosial yang mempertahankan suatu keadaan atau isntitusi yang ada dalam masyarakat Sartono Kartodirdjo (1993) memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
 tipologi gerakan sosial, yaitu:
1. Gerakan Millenarianisme merupakan gerakan petani yang mengharapkan kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Mereka yakin bahwa gerakannya akan berhasil, maka akan tercipta perdamaian dan kebahagiaan yang sempurna bahwa akan tercipta negara yang maju adil dan makmur yang berada di bawah kepemimpinan yang adil dan jujur percaya ramalan Jayabaya yang kelak akan tercipta negara yang aman dan makmur di bawah seorang ratu adil yang akan membebaskan para petani dari segala penderitaan yang dialami sekarang.
2. Gerakan mesianisme merupakan gerakan petani yang memperjuangkan datangnya seorang juru selamat, ratu adil yang akan menegakkan keadilan dan perdamaian dalam sebuah negara yang makmur dipengaruhi oleh mitos Jawa tentang munculnya ratu adil yang merupakan raja kebenaran, yang akan membebaskan rakyat dari segala penyakit, kelaparan dan setiap jenis kejahatan yang percaya kedatangan raja yang adil ini ditandai dengan bencana alam, menurunnya martabat, kemelaratan, dan penderitaan.
3. Gerakan nativisme merupakan gerakan petani yang menginginkan bangkitnya kejayaan masa lampau yang dipimpin oleh raja yang adil dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Gerakan ini lebih kepribumian dengan menginginkan tampilnya seorang pribumi sebagai penguasa yang adil seperti terjadi pada masa sebelum datangnya penjajah.
4. Gerakan fisabilillah/perang jihad dimana unsur Islam menjadi dasar bagi gerakan radikalisme agraria. Motivasi untuk menciptakan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berdasarkan ajaran agama Islam serta mengusir penjajah asing yang kafir. Gerakan ini sangat radikal karena selalu mengantagoniskan lawan sebagai musuh yang bertentangan dengan ajaran Islam. Gerakan ini yakin bahwa apabila mereka mati dalam perlawanan terhadap penguasa kafir maka kelak mereka akan mati syahid dan masuk syurga.

Michael Adas (1988) mengemukakan bahwa terjadinya gerakan sosial itu disebabkan oleh:
1. Adanya ketidakpuasan yang timbul dari pengalaman pribadi dan dendam partisipan yang dihasilkan oleh kondisi kehidupan mereka sehari-hari (dianalisis dengan teori deprivasi relatif) yaitu adanya persepsi atas penyimpangan antara harapan dan kapasitas ini menimbulkan deprivasi perasaan (sense of deprivation) yang secara relatif dan kolektif telah dialami yang membandingkan status dan kemampuan mereka satu sama lain terhadap orang-orang yang ada pada zaman sebelumnya sehingga tercipta standar baru yang menyebabkan tekanan dan keputusasaan yang berat dan merata sehingga timbul gerakan protes kolektif yang direncanakan untuk memperbaiki ketegangan dengan menutup kesenjangan antara pengharapan partisipan dan kapasitas mereka. Tuntutan ekonomi sebagai pusat dalam satu kasus, tetapi ancaman terhadap kepercayaan keagamaan/status sosial pun penting.

2. Adanya birokrasi kolonial dan pergantian di kalangan elit yaitu masalah keabsahan sebagai dampak administrasi kolonial yang meluas jauh di luar pengaruh yang paling nyata terhadap para pemimpin pribumi pada tingkat yang berbeda-beda.

3. Adanya Pergantian kekuasaan, legitiminasi dan deprivasi relatif yaitu munculnya perasaan terdeprevisasi secara cepat dirasakan oleh kelompokkelompok elit yang digantikan kekuasaan atau dipilih kembali sekadar sebagai pelengkap bagi agen kolonial yang menggantikan dan merampas kekuasaan mereka.

4. Adanya paksaan bagi koloni untuk membayar tanah, buruh dan pajak yang disebabkan karena pembentukan sistem administratif dan hukum colonial yang merupakan respon dari kebutuhan kapitalisme Laissez-Faire sangat penting bagi tujuan memaksa koloni untuk membayar salah satunya dengan tanam paksa.

5. Adanya pemerasan, pertikaian etnik dan deprivasi relatif. Gerakan revolusioner yang disebabkan karena terjadinya penindasan yang kejam dan kemiskinan yang menghimpit tidak selalu menggerakkan orang untuk memberontak karena potensi protes sosial dengan kekerasan lebih berhubungan dengan defrivasi relatif daripada absolut. Penguasa colonial Eropa, melalui pengunaan kekuasaan militer dan teknologi komunikasi yang lebih unggul dapat meningkatkan berbagai tuntutan yang dibebankan kepada rakyat petani dalam bentuk jasa buruh dan sejumlah produk. Di bawah pemerintahan kolonial kerangka pemikiran ekonomi yang berorientasi swasembada dipertahankan dan orang Eropa selalu bertindak secara tidak langsung melalui perantara orang pribumi non-Eropa dan imigran.

Sejarah Terbentuknya Partai Politik di Dunia

Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat bersamaan dengan gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan dalam proses politik. Dalam hal ini partai politik berperan sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain pihak. Maka dalam perkembangannya kemudian partai politik dianggap sebagai menifestasi dari suatu sistem politik yang demokratis, yang mewakili aspirasi rakyat.
Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut meluas dan berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh perlunya dukungan yang menyebar dan merata dari semua golongan masyarakat. Dengan demikian terjadi pergeseran dari peranan yang bersifat elitis ke peranan yang meluas dan populis.
Perkembangan selanjutnya adalah dari Barat, partai politik mempengaruhi dan berkembang di negara-negara baru, yaitu di Asia dan Afrika. Partai politik di negara-negara jajahan sering berperan sebagai pemersatu aspirasi rakyat dan penggerak ke arah persatuan nasional yang bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal ini terjadi di Indonesia (waktu itu masih Hindia Belanda) serta India. Dan dalam perkembanganya akhir-akhir ini partai politik umumnya diterima sebagai suatu lembaga penting terutama di negara-negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional, yaitu sebagai kelengkapan sistem demokrasi suatu negara.
Di Indonesia
Perkembangan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan masing-masing, yaitu : Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan masa merdeka.
Masa penjajahan Belanda.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.
Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islami) yang merupakan gabungan partai partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) ya g merupakan gabungan organisasi buruh.
Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.
Masa Merdeka (mulai 1945).
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.
TIPOLOGI PARTAI POLITIK INDONESIA
Diposkan oleh Idil Akbar
Dengan sistem banyak partai, Indonesia – bisa dikatakan – mengalami degradasi dalam bidang politik. Betapa tidak sistem multi partai merupakan sistem kepartaian yang sangat kompleksitas dan merumitkan, terutama bagi kalangan konstituen (pemilih), yakni rakyat. Dalam pengertiannya, sistem banyak partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari stuktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri.
Dengan memperhatikan karakteristik partai yang ada saat ini, maka jelas bahwa tipologi partai politik Indonesia memenuhi kriteria seperti di atas. Kemudian apa yang dimaksud dengan tipologi partai politik itu? Tipologi partai politik adalah pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan kriteria tertentu, seperti asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, basis sosial dan tujuan.
Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik diklasifikasikan menjadi tiga tipe, meliputi partai politik pragmatis, partai politik doktriner, dan partai politik kepentingan. Kemudian berdasarkan komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dapat digolongkan menjadi dua, yaitu partai massa atau lindungan dan partai kader. Sedangkan berdasarkan basis sosial dan tujuannya, partai politik dapat dibagi dua, yakni berdasarkan asas sosial dan berdasarkan tujuan.

Berdasarkan basis sosial, Almond menggolongkan partai menjadi empat tipe, pertama, partai politik yang beranggotakan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, seperti kelas atas, menengah, dan bawah. Kedua, partai politik yang anggotanya berasal dari kalangan kelompok kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, dan pengusaha. Ketiga, partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu, seperti Islam, Katolik, Propesten, dan Hindu. Empat, partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari kelompok budaya tertentu, seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah tertentu. Dan berdasarkan tujuan, partai politik dibagi menjadi tiga. Pertama, partai perwakilan kelompok, kedua, partai pembinaan bangsa, dan ketiga, partai mobilisasi.
Dari penggolongan tipologi di atas, maka kategorisasi partai politik-partai politik Indonesia termasuk dalam tipologi berdasarkan komposisi dan fungsi anggota. Dalam buku “Memahami Ilmu Politik” karangan Ramlan Surbakti, yang termasuk tipologi ini adalah partai massa atau lindungan (patronage) dan partai kader. Di sini dikatakan bahwa partai massa merupakan suatu partai politik yang mengandalkan kekuatan pada keunggulan jumlah anggota dengan cara memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, dan mengembangkan diri sebagai pelindung bagi berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga pemilihan umum dapat dengan mudah dimenangkan, dan kesatuan nasional dapat dipelihara, tetapi juga masyarakat dapat dimobilisasi untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan tertentu. Hampir sebagian besar partai politik yang ada saat ini termasuk dalam kategorisasi ini.
Walau secara kuantitas yang termasuk tipologi ini memiliki massa pendukung yang sangat besar, akan tetapi partainya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan partai ini tampak pada saat pembagian kursi (jabatan) dan pada perumusan kebijakan karena karakter dan kepentingan setiap kelompok dan aliran sangat menonjol. Keputusan serta kebijakan yang dikeluarkan seringkali tidak bisa diterima oleh setiap orang.
Kemudian yang dimaksud dengan partai kader adalah suatu partai yang mengandalkan kualitas anggota, ketetatan organisasi, dan disiplin anggota sebagai sumber kekuatan utama. Seleksi keanggotaan dalam partai kader biasanya sangat ketat, yaitu melalui kaderisasi yang berjenjang dan intensif, serta penegakan disiplin partai yang konsisten dan tanpa pandang bulu. Struktur organisasi partai ini sangat hierarkis sehingga jalur perintah dan tanggung jawab sangat jelas. Karena sifatnya yang demikian, partai kader acap kali disebut sebagai partai yang elitis. Partai Keadilan Sejahtera termasuk dalam kategori ini.
Pengertian Civil Society
            Civil Society mungkin masih terdengar asing di kalangan masyarakat Indonesia untuk lebih mudah memahaminya kita dapat menstransfernya dengan bahasa yang lebih ringan Civil Society juga dapat dipahami dengan arti masyarakat madani masyarakat madani adalah masyarakat sipil masyarakat yang tanggap dan juga beradab dan tentunya masyarakat yang memiliki budaya dan dapat menjaga budaya aslinya meskipun terjadi pertukaran budaya yang besar – besaran saat ini. Masyarakat madani adalah suatu konsep yang diambil oleh Indonesia dari Kota Madinah, dimana Kota Madinah ini telah mempunyanyi peradaban yang sudah sangat lama dan baik dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw yang hingga saat ini masih dinilai sebagai peradaban tertinggi. Dahulunya Madinah tersebut bernama asli Yasrib yang berada di wilayah Arab. Madani tersebut berate Kota (city state) sedangkan dalam bahasa Yunani disebut dengan Polis yang artinya juga sama yaitu kota. Civil Society merupakan satu cara untuk memahami relasi antara individu dan negara yang melestarikan kebebasan dan tanggungjawab.
            Pengertian Civil Society menurut Jean L. Kohen dan Andrew Arato (1992) adalah Modern Civil Society is based on egalitarian principle and universal inclusion experience in articulating the political will and in collective decision making is crucial to the reproduction of democracy . Civil Society yang dimakasudkan adalah suatu masyarakat sipil yang didasari oleh kesetaraan dan selain itu juga masyarakat yang mampu mempengaruhi kebijakan umum serta masyarakat yang didasari oleh demokrasi sehingga dapat membentuk masyarakat yang mandiri.
            Civil Society, dua kata tersebut kurang popular di ruang lingkup masyarakat Indonesia jika diubah ke Bahasa Indonesia artinyya adalah masyarakat sipil. Kebanyakan masyarakat pada umumnya mengertekaikan antara kata sipil dengan militer oleh karena itu kata tersebut masih terasa asing di lingkungan masyarakat Indonesia. Berbeda dengan masyarakat madani , meski tidak semua memahami apa arti masyarakat madani tersebut namun sudah tidak asing di telingan masyarakat Indonesia. Namun sebenarnya memang tidak ada perbedaan antara Masyarakat madani , Civil Society dan masyarakat sipil tersebut.
Suatu kondisi kehidupan masyarakat yang tegak diatas prinsip – prinsip egaliterisme-sederajat dan inklusivisme universal. Secara konkret, masyarakat sipil bisa terwujud bebagai organisasi yang berada di luar institusi pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan untuk melakukan counter hegemoni yang sudang pasti dapat mempengaruhi kebijakan umum.
Sejarah dan Perkembangan Civil Society di Indonesia
    Fase pertama, dikembangkan oleh:
         Aristoteles (384-322 SM)
Civil Society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.
         Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
Masyarakat sipil atau societies civilies ,yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan,  kota, dan  bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi.
         Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
         John Locke (1632-1704 M)
Kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.

 Fase kedua, dikembangkan oleh:
         Adam Fergusson (1767)
Ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.

 Fase ketiga, dikembangkan oleh:
         Thomas Paine (1792)
Ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Masyarakat madani menurut  Paine adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.

 Fase keempat, dikembangkan oleh:
         GWF Hegel (1770-1851 M)
Struktur sosial terbagi atas 3 entitas, yakni keluarga, masyarakat madani dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai  anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani.
         Karl Mark (1818-1883)
Masyarakat madani sebagai “ masyarakat borjuis” dalam konteks kehidupan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
         Antonio Gramsci(1891-1837 M)
Ia tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Gramsci memandang adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat sipil, sekalipun keberadaannya juga amat dipengaruhi oleh basis material.

 Fase kelima, dikembangkan oleh:
         Alexis de Tocqueville (1805-1859)
Masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan tertwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.

 Strategi Membangun Civil Society di Indonesia
    Integrasi nasional dan politik
Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
    Reformasi sistem politik demokrasi
Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak  usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi.
 Membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi.
Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategim ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yang makin luas.

Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
  1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
  2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
  3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan. Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.
PERBEDAAN PANDANGAN TRADISIONAL INTERAKSI MENGENAI KONFLIK.
Perubahan Pandangan Tentang Konflik. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional tentang konflik antar kelompok terjadi antara tahun 1930-an dan tahun 1940-an. Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari. Konflik dilihat sebagai hasil yang disfungsional sebagai akibat dari buruknya komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara anggota organisasi, dan kegagalan manajer untuk memberikan respon atas kebutuhan dan aspirasi dari para pekerja. Pandangan Aliran Hubungan Manusiawi. Pandangan aliran hubungan manusiawi menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan organisasi. Karena keberadaan dari konflik dalam orang tidak dapat dihindari, maka aliran hubungan manusiawi mendukung penerimaan dari konflik tersebut dan menyadari adakalanya konflik tersebut bermanfaat bagi prestrasi suatu kelompok. Pandangan hubungan manusiawi mendominasi teori tentang konflik pada akhir tahun 1940-an sampai pertengahan tahun 1970-an. Pandangan Interaksionis. John Aker dari IBM menjelaskan – pandangan baru tentang konflik yang disebut sebut sebagai persepektif interaksionis. Kalau pendekatan aliran hubungan manusiawi menerima keberadaan dari konflik, maka pendekatan interaksionis mendorong konflik pada keadaan yang “harmonis tidak adanya perbedaan pendapat yang cenderung menyebab organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Sumbangan utama dari pen dekatan interaksionis adalah mendorong pimpinan organisasi untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu menimbulkan semangat clan kreativitas kelompok.
SUMBER – SUMBER UTAMA PENYEBAB KONFLIK.
Dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor intern dan factor ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan beberapa hal:
1. Kemantapan organisasi Organisasi yang telah mantap lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak mudah terlibat konflik dan mampu menyelesaikannya. Analoginya dalah seseorang yang matang mempunyai pandangan hidup luas, mengenal dan menghargai perbedaan nilai dan lain-lain.
2. Sistem nilai Sistem nilai suatu organisasi ialah sekumpulan batasan yang meliputi landasan maksud dan cara berinteraksi suatu organisasi, apakah sesuatu itu baik, buruk, salah atau benar.
3. Tujuan Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para anggotanya.
4. Sistem lain dalam organisasi Seperti sistem komunikasi, sistem kepemimpinan, sistem pengambilan keputusan, sisitem imbalan dan lain-lain. Dlam hal sistem komunikasi misalnya ternyata persepsi dan penyampaian pesan bukanlah soal yang mudah. Sedangkan faktor ekstern meliputi :
1. Keterbatasan sumber daya Kelangkaan suatu hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat berakhir menjadi konflik.
2. Kekaburan aturan/norma di masyarakat Hal ini memperbesar peluang perbedaan persepsi dan pola bertindak.
3. Derajat ketergantungan dengan pihak lain Semakin tergantung satu pihak dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.
4. Pola interaksi dengan pihak lain Pola yang bebas memudahkan pemamparan dengan nilai-nilai ain sedangkan pola tertutup menimbulkan sikap kabur dan kesulitan penyesuaian diri.
TEKNIK – TEKNIK UTAMA UNTUK MEMECAHKAN KONFLIK.
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
1. Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer perawaran harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
2. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
3. Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
4. Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada :
q Konflik itu sendiri
q Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya
q Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik
q Pentingnya isu yang menimbulkan konflik
q Ketersediaan waktu dan tenaga

BENTUK KONFLIK SOSIAL
Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara.
 Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:

1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.

Bentuk Pengendalian Konfik
Pengendalian Konflik
            Konflik tidak akan terjadi apabila masyarakat dapat dikendalikan dengan baik, sehingga kerugian akibat dari konflik dapat ditekan sedemikian rupa. Ada tiga macam bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu:
a. Konsiliasi
            Merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Pada umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat politik. Lembaga parlementer yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok kepentingan akan menimbulkan pertentangan-pertentangan. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, biasanya lembaga ini melakukan pertemuan untuk jalan damai.
            Untuk dapat berfungi dengan baik dalam melakukan konsiliasi, maka ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu:
1) Lembaga tersebut merupakan lembaga yang bersifat otonom.
2) Kebudayaan lembaga tersebut harus bersifat monopolitis.
3) Peran lembaga tersebut harus mengikat kepentingan semua kelompok.
4) Peran lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
b. Mediasi
            Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat konsensus di antara dua pihak yang bertikai untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Pengendalian ini sangat berjalan efektif dan mampu menjadi pengendalian konflik yang selalu digunakan oleh masyarakat. Misalnya pada konflik berbau sara di Poso, dimana pemerintah menjadi mediator menyelesaikan konflik tersebut tanpa memihak satu sama lainnya.
c. Arbitrasi
            Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang memberikan keputusan untuk menyelesaikan konflik. Ketiga jenis pengendalian konflik ini memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya ledakan sosial dalam masyarakat.

Dampak Konflik Sosial
      Konflik sosial memiliki dampak yang bersifat positif dan negatif. Adapun
dampak positif dari konflik social adalah sebagai berikut:
1. Konflik dapat memperjelas berbagai aspek kehidupan yang masih belum tuntas.
Universitas Sumatera Utara2. Adanya konflik menimbulkan penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
3. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara angota kelompok.
4. Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok.
5. Konflik dapat memunculkan kompromi baru.
      Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik sosial adalah
sebagai berikut:
1. Konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok.
2. Konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa.
3. Konflik menyebabkan adanya perubahan kepribadian.
4. Konflik menyebabkan dominasi kelompok pemenang

Resolusi Konflik

 Resolusi Konflik

Bagaimana Menghadapi dan Mengatasi Konflik? Para psikolog bersepakat bawah konflik haruslah diselesaikan demi mencegah timbulnya kebuntuan dan tuduhan, serta untuk melancarkan (kembali) komunikasi dan hubungan baik. Anda mungkin bertanya, “Bagaimana?” Sederhana. Berikut ini, enam model pendekatan yang berbeda, sebagai bentuk respon dalam menyelesaikan konflik: penyelamatan diri, bertarung, menyerah, menghindari tanggung jawab, kompromi, atau mencapai kesepakatan.
1. Kabur
Ini sama dengan menyelamatkan, meloloskan, atau melarikan diri. Dalam hal ini, konflik tidak diselesaikan, maka menyisakan situasi yang sama dengan kondisi semula. Mudah disimpulkan, bahwa kedua belah pihak tidak mendapatkan hasil apa pun. Situasinya: kalah-kalah.
2. Bertarung
Dia menghadapi konflik dengan agresif, hanya untuk satu tujuan: MENANG. Tapi, menang sendirian di satu pihak saja, dengan mengalahkan pihak lain, tidaklah cukup (baik). Pendekatan satu ini terjadi dengan menaklukkan pihak lain, sembari menegaskan posisi/kepentingannya saat ia menghadapi penolakan dari pihak lain. Hasil akhirnya berupa situasi menang-kalah.
3. Menyerah
Dia mengambil posisi menyerah, menyelesaikan konflik dengan mengundurkan diri. Hasilnya berupa situasi kalang-menang.
4. Menghindari tanggung jawab
Dia merasa kewalahan mengatasi konflik, karenanya dia sering hanya mendelegasikan wewenang –beserta dengan potensi konfrontasi yang mungkin terjadi– kepada otoritas (pihak) lainnya, biasanya ke pihak yang lebih berwenang. Pemegang otoritas baru ini menyelesaikan konflik untuknya, tapi tidak secara bijaksana. Atau lebih buruk lagi, tidak sesuai dengan harapan ideal si pemberi wewenang. Ada resiko buruk yang bisa terjadi, yakni masing-masing pihak akan merasa kalah. (Situasi: kalah-kalah).
5. Berkompromi
Bergantung pada bagaimana Anda memahami, sebuah kompromi adalah solusi yang “dapat diterima” oleh kedua belah pihak. Sering dirasakan meskipun solusinya tidaklah ideal, tapi kondisi ini memang beralasan, mengingat adanya pergolakan yang ada (menang-kalah/menang-kalah).
6. Gapai kesepakatan
Konsensus, kesepakatan bersama, sebagai hasil dari pengembangan solusi baru dari kedua pihak. Hasilnya berkebalikan dengan kompromi, berbentuk situasi menang-menang bagi kedua pihak. Ini dapat terjadi, karena tak satupun pihak yang diharuskan untuk mundur, untuk kemudian menyerah atau putus asa. Bahkan, kedua pihak mengembangkan kerangka persetujuan dari “alternatif ketiga” secara bersama-sama.
Contoh sederhana, adanya kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah mengenai harga mati NKRI.
Proses integrasi disebabkan adanya, kebersamaan sejarah, ada ancaman dari luar yang dapat mengganggu keutuhan NKRI, adanya kesepakatan pemimpin, homogenitas social budaya serta agama ,dan adanya saling ketergantungan dalam bidang politik dan ekonomi. Istilah integrasi nasional merujuk kepada perpaduan seluruh unsur dalam rangka melaksanakan kehidupan bangsa, meliputi social,budaya, ekononi, maka pengertian integrasi nasional adalah menekankan pada persatuan persepsi dan prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Kembali ke persoalan integrasi, istilah integrasi politik dari pada istilah integrasi Nasional, istilah elit politik tidak hanya mencakup kepada perbedaan elit masyarakat saja, dan juga integrasi tutorial tidak hanya persoalan integrasi wilayah, kita melihat elit massa dan tutorial adalah penyebab yang paling rentan terhadap persoalan integrasi nasional.
Integrasi adalah proses dimana komponen yang berbeda bergabung menjadi satu. Dalam sosiologi dan politik integrasi merupakan istilah yang banyak digunakan untuk menggambarkan penggabungan dari beberapa kelompok dalam masyarakat untuk menafsirkan suatu hal. Salah satu ciri dari integrasi sosial yaitu kedua kelompok membuat modifikasi / perubahan, misalnya kebiasaan atau tradisi. Ketika ada penyesuaian sepihak disebut asimilasi. 
Integrasi sosial berkaitan erat dengan perubahan individu yang masuk ke lingkungan baru di mana seorang individu harus disosialisasikan ke seluruh masyarakat. Individu harus disosialisasikan ke masyarakat, untuk menciptakan kebersamaan dan menciptakan kesatuan yang utuh dalam suatu komunitas masyarakat.

Pengertian Demokrasi
Dari situs wikipedia bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa Pengertian Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sedangkan secara Bahasa Arti demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.