Gerakan
sosial
Gerakan
sosial (bahasa Inggris:social
movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis tindakan
sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbetuk organisasi, berjumlah
besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial
atau politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah
perubahan sosial.
Jenis
Jenis gerakan sosial.[1]
Para sosiolog membedakan gerakan sosial kedalam
beberapa jenis:
- Lingkup
- Gerakan reformasi - gerakan yang didedikasikan untuk mengubah beberapa norma, biasanya hukum. Contoh gerakan semacam ini akan mencakup seperti, serikat buruh dengan tujuan untuk meningkatkan hak-hak pekerja, gerakan hijau yang menganjurkan serangkaian hukum ekologi, atau sebuah gerakan pengenalan baik yang mendukung atau yang menolak adanya, hukuman mati atau hak untuk dapat melakukan aborsi. Dalam beberapa gerakan reformasi memungkinkan adanya penganjuran perubahan tehadap norma-norma moral misalkan, mengutuk pornografi atau proliferasi dari beberapa agama. Sifat gerakan semacam itu tidak hanya terkait dengan masalah tetapi juga dengan metode yang dipergunakan, dari kemungkinan ada penggunaan metode yang sikap reformis non-radikal yang akan digunakan untuk pencapaian akhir tujuan, seperti dalam kasus aborsi agar dapat tercipta adanya pembuatan hukum perundangan-undangan.
- Gerakan radikal - gerakan yang didedikasikan untuk adanya perubahan segera terhadap sistem nilai dengan melakukan perubahan-perubahan secara substansi dan mendasar, tidak seperti gerakan reformasi, Contohnya termasuk Gerakan Hak Sipil Amerika yang penuh menuntut hak-hak sipil dan persamaan di bawah hukum untuk semua orang Amerika (gerakan ini luas dan mencakup hampir seluruh unsur-unsur radikal dan reformis), terlepas dari ras, yang di Polandia dikenal dengan nama Solidaritas /(Solidarność) gerakan yang menuntut transformasi dari sebuah tata nilai politik Stalinisme menuju kepada tata nilai sistem poltik sistem ekonomi atau ke dalam tata nilai sistem poltik demokrasi atau di Afrika Selatan disebut gerakan penhuni gubuk Abahlali baseMjondolo yang menuntut dimasukkannya para penghuni gubuk secara penuh ke dalam penghunian kehidupan kota.
- Jenis perubahan
- Gerakan Inovasi - gerakan yang ingin mengaktifkan norma-norma tertentu, nilai-nilai, dan lain-lain gerakan advokasi yang tak umum kesengajaan untuk efek dan menjamin keamanan teknologi yang tak umum adalah contoh dari gerakan inovasi.
- Gerakan Konservatif - gerakan yang ingin menjaga norma-norma yang ada, nilai, dan sebagainya Sebagai contoh, anti-abad ke-19, gerakan modern menentang penyebaran makanan transgenik dapat dilihat sebagai gerakan konservatif dalam bahwa mereka bertujuan untuk melawan perubahan teknologi secara spesifik, namun mereka dengan cara yang progresif gerakan yang hanya bersikap anti-perubahan (misalnya menjadi anti-imigrasi) sedang untuk hasil tujuan kepentingan tidak pernah didapat hanya merupakan bersifat bertahan.
- Target
- Gerakan fokus berkelompok - bertujuan memengaruhi atau terfokus pada kelompok atau masyarakat pada umumnya, misalnya, menganjurkan perubahan sistem politik. Beberapa kelompok ini akan berubah atau menjadi atau akan bergabung dengan partai politik, tetapi banyak tetap berada di luar sistem partai politik partai.
- Gerakan fokus Individu - fokus pada yang memengaruhi secara personal atau individu. Sebagian besar dari gerakan-gerakan keagamaan akan termasuk dalam kategori ini.
- Metode kerja
- Gerakan damai yang memperlihatkan untuk berdiri kontras dengan gerakan 'kekerasan'. Gerakan Hak-Hak Sipil Amerika, Gerakan Solidaritas Polandia yang tanpa penggunaan kekerasan, selalu berorientasi sipil dan sayap gerakan kemerdekaan India boleh dimasukan ke dalam kategori ini.
- Gerakan kekerasan umumnya merupakan gerakan bersenjata misalkan berbagai Tentara Pembebasan Nasional seperti, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista dan gerakan pemberontakan bersenjata lainnya.
- Lama dan baru
- Gerakan lama - gerakan untuk perubahan yang telah ada sejak awal masyarakat, sebagian besar merupakan gerakan-gerakan abad ke-19 berjuang untuk kelompok-kelompok sosial tertentu, seperti kelas pekerja, petani, orang kulit putih, kaum bangsawan, keagamaan, laki-laki. Mereka biasanya berpusat di sekitar beberapa tujuan materialistik seperti meningkatkan standar hidup atau, misalnya, otonomi politik kelas pekerja.
- Gerakan baru - gerakan yang menjadi dominan mulai dari paruh kedua abad ke-20 - seperti gerakan feminis, gerakan pro-choice, gerakan hak-hak sipil, gerakan lingkungan, gerakan perangkat lunak bebas, gerakan hak-hak gay, gerakan perdamaian, gerakan anti-nuklir, gerakan alter-globalisasi dan lain lain, Kadang-kadang gerakan ini dikenal sebagai gerakan sosial baru. Mereka biasanya berpusat di sekitar isu-isu yang sama yang tidak terpisahkan dari masalah sosial.
- Jangkauan
- Gerakan secara internasional - gerakan sosial yang mempunyai tujuan serta sasaran secara global. Gerakan-gerakan seperti yang pertama kali dilakukan aliran Marx kemudian seperti Forum Sosial Dunia, Gerakan atiglobalisasi dan gerakan anarkis berusaha untuk mengubah masyarakat secara global.
- Gerakan lokal - sebagian besar dari gerakan sosial memiliki lingkup lokal.gerakan yang didasarkan pada tujuan lokal atau regional, seperti melindungi daerah alam tertentu, melobi untuk penurunan tarif tol di jalan tol tertentu, atau mempertahankan bangunan yang akan dihancurkan untuk gentrifikasi agar dapat mengubahnya menjadi pusat-pusat sosial.
- Gerakan semua tingkatan - gerakan sosial yang berkaitan dengan kompleksitas pemerintahan di abad ke-21 dan bertujuan untuk memiliki pengaruh di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional.
Dinamika gerakan sosial
Tahapan gerakan sosial.[2]
Gerakan sosial tidak bersifat terus-menerus
karena memiliki siklus hidup kurang-lebih sebagai berikut: diciptakan,
tumbuh, pencapaian sasaran akhir atau berikut kegagalannya , terkooptasi dan
kehilangan semangat.
Menurut data yang diambil dari Wikipedia.org
dan diproses dengan otak pas-pasan, Gerakan Sosial atau social
Movement adalah aktivitas sosial berupa gerakan atau tindakan
sekelompok orang yang bersifat informal atau organisasi, Suatu Gerakan sosial
biasa berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan,
menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.
Kata “Gerakan Sosial” sendiri diperkenalkan
pertama kali pada 1848 pada oleh Sosiolog Jerman, Lorenz Von Stein dalam
bukunya yang berjudul “Socialist & Communist Movement since the
Third French Revolution” . Pada saat itu gerakan sosial bersifat massive dan
biasanya timbul dengan maksud penolakan ataupun perlawanan terhadap kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Pergerakan Buruh dan Sosialis pada
Abad 19 adalah contoh prototype dari Social Movement
jaman dahulu yang masih mengandalkan kendaraan politik berupa organisasi atau
partai. Paska Perang Dunia Kedua, kita masuk kedalam periode reformasi dan
perubahaan yang disebut Post-War Periode, pada saat itu
berjamuran berbagai gerakan sosial dipicu semakin bebasnya masyarakat untuk
berekspresi dan menuntut haknya. “Demokrasi”.
Berasal dari berbagai keresahan diberbagai
bidang, berbagai gerakan pun bermunculan, mulai dari Ekonomi, Politik, Sosial,
Budaya, Pendidikan, Kesehatan dan Lain-lain. Barulah pada Abad 21 saat
teknologi dan globalisasi merubah drastic pola pikir, budaya, transaksi dan
gaya hidup masyarakat, Gerakan Sosial juga mengalami Evolusi, Gerakan sosial
kini menjadi lebih spesifik mengangkat kasus tertentu dan mulai meninggalkan
organisasi formal sebagai kendaraan aspirasinya.
Internet terutama jejaring sosial / Social
Media menjadi salah satu faktor yang mengubah pola pergerakan
sosial di Dunia. Internet dengan akses tak terbatasnya membuat aliran
komunikasi semakin mudah, pengetahuan dan informasi terbuka bebas di maya dan
merebaknya demam Social Media semakin mempermudah
individu untuk mengekspresikan diri, mengungkapkan pendapat bahkan menyerang
satu sama lain dalam wadah jejaring sosial.
Evolusi Social Movement terjadi, kini
Gerakan sosial mulai meninggalkan Organisasi Formal sebagai kendaraan
apresiasinya. Kini masyarakat berkumpul dalam sebuah wadah informal dengan
kebebasan seluas-luasnya. Faktor kepentingan golongan lambat laun tergeser, isu
spesifik membuat masyarakat semakin objektif. Dengan terlalu mudahnya bergabung
dalam sebuah kelompok dan menghimpun dukungan, juga menimbulkan efek negative, yaitu
munculnya “Click
Activism” yang dengan hanya melakukan klik seseorang sudah merasa
memberikan dukungan dan bertindak. Padahal sebuah gerakan tidak akan
menimbulkan efek dan mencapai tujuannya, tanpa sebuah gerakan nyata. Kita dapat
melihat itu semua di Twitter ataupun Facebook
dimana ratusan gerakan sosial menggalang dukungan dan melakukan aksinya di
dunia maya.
Semoga tingginya teknologi dan akses informasi,
terutama internet dan social media tidak membuat kita hanya menjadi seorang ”Click
Activist” tetapi juga ikut malakukan tindakan nyata. Sebenarnya hal
tersebut dapat dimulai dari “Kelompok atau Organisasi Social
Movement itu sendiri, dengan mencanangkan program yang tidak melulu
beraksi di dunia maya, namun juga melakukan kegiatan kegiatan off air seperti
kopdar ataupun aksi sosial sesuai isu yang ingin ditanganinya. Demikian dan
salam.
Perkembangan Gerakan Sosial secara Konsep
Kasus Prita lebih tepat disebut Collective
action daripada gerakan sosial. Jika Kasus Prita diarahkan untuk
memperjuangkan citizenships (kewargaan) maka dapat
disebut sebagai gerakan sosial. Meskipun keluhan Prita dianggap hanya sebatas
hubungan pasien dengan rumah sakit, namun secara tidak sadar telah tumbuh
kesadaran sebagai warga negara yang menuntut haknya. Menurut Ganda Upaya,
“Kesadaran mengenai kewargaan di Indonesia kurang”, kasus Prita ini sebenarnya
dapat digunakan sebagai momentum namun berhenti ketika kasus hukumnya
(sementara) berhenti.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi gerakan
sosial, yang pertama gerakan tersebut memperjuangan “ID” atau identitas.
Misalnya gerakan yang memperjuangan perempuan, lingkungan, partisipasi politik,
dan lain sebagainya yang mewakili tujuannya. Kemudian "ID" ini
ditujukan kepada siapa? (Baca Iwan Gardono Sujatmiko; Gerakan sosial dan
Dinamika Masyarakat). Jika gerakan tersebut ditujukan kepada state (negara)
maka disebut sebagai gerakan politik, karena gerakan ini bertujuan untuk
merubah kebijakan. Tetapi “ID” akan menjadi gerakan sosial ansih jika
hubungannya horizontal. Ganda mencontohkan gerakan perempuan melawan patriarki
sebagai gerakan sosial. Faktor kedua adalah aktor yang muncul untuk
memperjuangkan gerakan tersebut. Aktor dapat berupa seorang tokoh maupun
kelompok. Dan yang terakhir adalah organisasi.
Resource Mobilization Theory and Smos
Organisasi tidak dapat lepas dari gerakan
sosial. Mengapa? Ganda memaparkan teori ini dengan mengangkat permasalahan
organisasi khususnya Non-Government Organization (NGO)
di Amerika Latin. Bahwa ada persoalan pada organisasi dimana pemimpin/elitnya
tidak jelas (maksudnya ingin terus memimpin), tidak transparan, dan tidak jelas
merepresentasikan siapa atau kelompok mana. Oleh sebab itu organisasi yang
mendorong gerakan sosial harus dapat membuat framing/kerangka/jargon atau lebih
tepat disebut sebagai agenda perjuangan bersama. Berikutnya komitmen yang
adalah keterikatan untuk bertanggungjawab menjalankan agenda, dan terakhir
adalah spirit
the corps. Ganda menjelaskan bahwa bisa saja kita gebrak-gebrak
meja didalam (organisasi), tapi begitu tampil diluar sikap dan pernyataan kita
membawa agenda organisasi.
Bagaimana dengan NGO di Indonesia sendiri? NGO
di Indonesia mengalami fragmentasi perjuangan yang sebabkan oleh ego sektoral
dan terlebih lagi elitnya menjadi oligarki. Kelemahan lainnya adalah ketika
pergantian pemimpin, organisasi tersebut tidak berkembang. Maka gerakan sosial
sendiri tidak mudah berkembang karena ada persoalan pada tiga hal tersebut
(organisasi, komitmen dan leadership).
Gerakan sosial mensyaratkan membangun network
baik ditingkat nasional maupun lokal. Cara membangun network adalah dengan
menumbuhkan trust. Pada tingkat lokal harus
muncul leader
of civil society agar setiap atau seluruh organisasi masyarakat
sipil memperjuangkan tujuannya menggunakan gerakan sosial.
Political Process Theory and Smos
Adakah political opportunity dalam gerakan
sosial? Jika ingin mengembangkan satu ide, adakah kesempatan dan peluangnya.
Apakah rezim ini represif atau tidak? Adakah Undang – undang yang dapat menjadi
celah untuk memperjuangkan agenda kita? Maka selain network, gerakan sosial juga
membutuhkan kemampuan membuat mapping baik pada tingkat lokal
maupun nasional. Tujuannya agar aktor dan organisasi memahami persoalan
ekomoni, sosial, budaya pada masing – masing daerah. Kemudian diikuti strategi
seperti membuat leaflet,website, workshop, seminar, mengeluarkan statement
secara rutin, dan melatih demonstrasi sehingga berkesinambungan dan dapat
diukur gagal tidaknya suatu perjuangan maka rangkaian ini disebut sebagai political
process.
Muncul pertanyaan, bagaimana membedakan antara
gerakan sosial, gerakan ekonomi, gerakan politik, kemudian gerakan cultural
dengan gerakan sosial? Ganda kembali memberikan beberapa contoh yang memudahkan
misalnya pedagang tradisonal memperjuangan akses Usaha Kecil Menengah (UKM),
kelihatannya ekomoni, namun pedagang tersebut memperjuangkan uang dari negara
maka gerakan ini disebut gerakan politik. Contoh lain misalnya kawan – kawan NU
mengadakan itsigothsah yang terlihat seperti gerakan cultural,
namun sebenarnya itsigothsah merupakan salah satu strategi (show of
force) agar mendapat perhatian dari pemerintah. Ini juga merupakan
gerakan politik. Gerakan sosial berdasarkan sosiologi politik memiliki basis
sosial seperti etnik, communal, agama, jender, urbanpoor. Sedangkan berbasis
kelas seperti buruh, petani, dsb.
Cultural and Cognitive Theories and Smos
Gerakan sosial mengedepankan soal identitas,
mengambil contoh gerakan gay dan lesbian. Kelompok ini menyuarakan
kepentingannya lebih pada hubungan horizontal yang ada yaitu masyarakat. Counter
movement selalu ada sebagai dialektika sosial. Meskipun tidak
memiliki organisasi, namun gerakan ini berkaitan dengan value dan benefit
dimana gerakan ini memiliki kesamaan cita – cita untuk menuntut pengakuan
indentitas. Contoh lain misalnya tidak mungkin membuat gerakan melawan budaya
partiarki di Aceh. Hal ini mengingatkan kita bahwa gerakan sosial mensyaratkan
organisasi melakukan mapping terlebih dahulu agar memperoleh social
and cultural context.
Menyinggung tentang Blok Politik Demokratik
(BPD) Demos yang sulit menyatukan isu, sektor dan gerakan, Ganda Upaya
berpendapat bahwa ide BPD harus dijabarkan dalam framing yang tepat agar petani,
melayan, buruh dan sektor lain merasa terwakili. Strateginya dengan melakukan
mapping terlebih dahulu ditingkat grass roots. Berdasarkan
pengalamannya, secara sosial, grass roots tidak percaya pada
nasional. Demos harus membangun social trust dengan network,
yang terakhir BPD harus memiliki pemimpin yang komunikatif serta diakui
ditingkat lokal.
Demokrasi
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Demokrasi memungkinkan rakyat menentukan pemimpinnya
melalui pemilihan umum.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan
pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).[1] Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía)
"kekuasaan rakyat",[2] yang dibentuk dari kata
δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos)
"kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan
abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat
pada tahun 508 SM.[3] Istilah demokrasi
diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk
pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di
tangan orang banyak (rakyat).[4] Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".[5] Hal ini berarti kekuasaan
tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam
mengatur kebijakan pemerintahan.[6] Melalui demokrasi,
keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.[7]
Demokrasi terbentuk menjadi
suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang
ingin menyuarakan pendapat mereka.[5] Dengan adanya sistem
demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.[5] Demokrasi memberikan
kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum
semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja.[8] Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk
yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.[9] [8]
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan
pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk
masyarakat sosialis.[10] Bagi Gus Dur, landasan demokrasi
adalah keadilan, dalam arti terbukanya
peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari
orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia
inginkan.[11] Masalah keadilan menjadi
penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan
hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta
pertolongan untuk mencapai hal tersebut.[11]
Sejarah demokrasi
Sebelum istilah demokrasi
ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia.[9] Ketika
itu, bangsa Sumeria
memiliki beberapa negara kota yang independen.[9] Di
setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk
mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.[9]
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang
merupakan cikal bakal dari demokrasi modern.[9] Yunani kala itu
terdiri dari 1,500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen.[12] [3] Negara
kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi.[3]
Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan
yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung.[13]
Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan
negarawan.[3] Paket
pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun
Solon tidak berhasil membuat perubahan.[3]
Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes,
seorang bangsawan Athena.[3] Dalam
demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap
orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih
kebijakan.[14] Namun
dari sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi
rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.[8]
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM.[9] Sistem demokrasi
yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari
bangsawan di Senat dan
perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.[14]
Bentuk-bentuk demokrasi
Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu
demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.[5]
Demokrasi langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk
demokrasi dimana setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan
suatu keputusan.[5] Dalam sistem ini,
setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga
mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi.[5] Sistem
demokrasi langsung digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena
dimana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh
rakyat berkumpul untuk membahasnya.[5] Di era
modern sistem ini menjadi tidak praktis karena umumnya populasi suatu negara
cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat dalam satu forum merupakan hal yang
sulit.[5] Selain
itu, sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat
modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan
politik negara.[5]
Demokrasi perwakilan
Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat
memilih perwakilan melalui pemilihan
umum untuk
menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.[5]
Prinsip-prinsip demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya
negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.[15] Prinsip-prinsip
demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru
demokrasi".[16]
Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:[16]
- Kedaulatan rakyat;
- Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
- Kekuasaan mayoritas;
- Hak-hak minoritas;
- Jaminan hak asasi manusia;
- Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
- Persamaan di depan hukum;
- Proses hukum yang wajar;
- Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
- Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
- Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok
atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai
kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.[17]
Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:[17]
- Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
- Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-ciri pemerintahan demokratis
Pemilihan umum
secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu
tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.[4] Ciri-ciri suatu
pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:[4]
- Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
- Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
- Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
- Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
Definisi atau Pengertian Paham Demokrasi - Secara etimologi pengertian demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yakni “demos” yang artinya rakyat dan
“kratos/kratein” artinya kekuasaan/ berkuasa. Jadi demokrasi adalah kekuasaan
ada ditangan rakyat.
Dalam hal ini demokrasi berasal dari pengertian
bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Maksudnya kekuasaan yang baik adalah
kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sejarah demokrasi berasal dari sistem yang
berlaku di negara-negara kota (city state) Yunani Kuno pada abad ke 6 sampai
dengan ke 3 sebelum masehi. Waktu itu demokrasi yang dilaksanakan adalah
demokrasi langsung yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negaranya
yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas hal tersebut dimungkinkan karena
negara kota mempunyai wilayah yang relatif sempit dan jumlah penduduk tidak
banyak (kurang lebih 300 ribu jiwa). Sedangkan waktu itu tidak semua penduduk
mempunyai hak :
- bersifat
langsung dari demokrasi Yunani Kuno dapat diselenggarakan secara efektif
karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas serta
jumlah penduduknya sedikit (kurang lebih 300 ribu jiwa dalam satu kota).
Ketentuan demokrasi yang hanya berlaku untuk warga negara resmi. - Hanya bagian kecil dari penduduk.
Gagasan demokrasi Yunani hilang dari dunia
Barat ketika Romawi Barat dikalahkakn oleh suku German. Dan Eropa Barat
memasukkan Abad Pertengahan (AP).
Abad pertengahan di Eropa Barat dicirikan oleh
struktur total yang feodal (hubungan antara Vassal dan Lord). Kehidupan sosial
dan spiritual dikuasai Paus dan pejajabat agama lawuja. Kehidupan politiknya
ditandai oleh perebutan kekuasaan antar bangsawan.
Dari sudut perkembangan demokrasi AP menghasilkan dokumen penting yaitu Magna Charta 1215. Ia semacam contoh antara bangsawan Inggris dengan Rajanya yatu John. Untuk pertama kali seorang raja berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak bawahannya.
Mungkin Anda belum tahu siapa pemikir-pemikir
yang mendukung berkembangnya demokrasi. pemikir-pemikir yang mendukung
berkembangnya demokrasi antara lain: John Locke dari Inggris (1632-1704) dan
Mostesquieu dari Perancis (1689-1755).
Menurut Locke hak-hak politik mencakup atas
hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and
property).
Montesquieu, menyusun suatu sistem yang dapat
menjamin hak-hak politik dengan pembatasan kekuasaan yang dikenal dengan Trias
Politica.
Trias Politica menganjurkan pemisahan kekuasaan,
bukan pembagian kekuasaan. Ketiganya terpisah agar tidak ada penyalahgunaan
wewenang. Dalam perkembangannya konsep pemisahan kekuasaan sulit dilaksanakan,
maka diusulkan perlu meyakini adanya keterkaitan antara tiga lembaga yaitu
eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Pengaruh paham demokrasi terhadap kehidupan
masyarakat cukup besar, contohnya:
- perubahan sistem pemerintahan di Perancis melalui revolusi.
- revolusi kemerdekaan Amerika Serikat (membebaskan diri dari dominasi Inggris).
Saat ini demokrasi telah digunakan sebagai
dasar dalam sistem pemerintahan di berbagai negara, termasuk dengan Indonesia.
Di Indonesia istilah demokrasi ada kalanya digandengkan dengan kata Liberal,
Terpimpin dan Pancasila.
Seringkah Anda mendengar kata-kata tersebut?
Namun perlu Anda ketahui, bahwa di sana
terdapat perbedaan aliran pemikiran dalam penerapannya. Perbedaan itu
menimbulkan berbagai macam penerapan pemerintahan.
Macam-macam demokrasi pemerintahan yang dianut
oleh berbagi bangsa di dunia adalah demokrasi parlementer, demokrasi dengan
pemisahan kekuasaan dan demokrasi melalui referendum. Marilah kita bahas
satu-persatu.
1. Demokrasi Parlementer,
adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi
dari pada badan eksekutif. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana
Menteri. Perdana menteri dan menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan
diberhentikan oleh parlemen. Dalam demokrasi parlementer Presiden menjabat
sebagai kepala negara.
2. Demokrasi dengan sistem pemisahan
kekuasaan, dianut sepenuhnya oleh Amerika Serikat. Dalam sistem
ini, kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif dipegang
Presiden, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung.
Dengan adanya pemisahan kekuasaan seperti itu,
akan menjamin keseimbangan dan menghindari penumpukan kekuasaan dalam
pemerintah.
3.
Demokrasi melalui Referendum
Yang paling mencolok dari sistem demokrasi melalui referendum adalah pengawasan dilakukan oleh rakyat dengan cara referendum. Sistem referendum menunjukkan suatu sistem pengawasan langsung oleh rakyat. Ada 2 cara referendum, yaitu referendum obligator dan fakultatif.
Yang paling mencolok dari sistem demokrasi melalui referendum adalah pengawasan dilakukan oleh rakyat dengan cara referendum. Sistem referendum menunjukkan suatu sistem pengawasan langsung oleh rakyat. Ada 2 cara referendum, yaitu referendum obligator dan fakultatif.
Referendum obligator atau wajib lebih
menekankan pada pemungutan suara rakyat yang wajib dilakukan dalam merencanakan
pembentukan UUD negara, sedangkan referendum fakultatif, menenkankan pada
pungutan suara tentang rencana undang-undang yang sifatnya tidak wajib.
Sosiologi politik
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi
anggota-aggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif
maupun politik. Dalam pengertian lain, rekrutmen politik merupakan fungsi
penyelekksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui
penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri
untuk jabatan tertentu dan sebagainya.
Setiap sistem politik memiliki sistem atau
prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang direkrut adalah yang
memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan
politik. Setiap partai juga memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pada
referensi yang lain, kita bisa menemukan definisi atau pengertia rekrutmen
politik yang lebih memperhatikan sudut pandang fungsionalnya, yaitu “The
process by which citizens are selected for involvement in politics”. Pengertia
tersebut di atas menjelaskan bahwa rekrutmen politik adalah proses yang
melibatkan warga negara dalam politik.
Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung
melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya
diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari seleksi
administrative, penelitian khusus yanitu menyangkut kesetiaaan pada ideology Negara.
Adapun beberapa pilihan partai politik dalam
proses rekrutmen politik adalah sebagai berikut;
- Partisan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas tinggi terhadap partai sehingga bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis.
- Compartmentalization, merupakan proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang, misalnya aktivis LSM.
- Immediate survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut.
- Civil service reform, merupakan proses rekrutmen berdasarkan kemampuan dan loyalitas seorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting atau lebih tinggi.
Ada beberapa hal menurut Czudnowski, yang dapat menentukan terpilihnya seseorang dalam lembaga legislatif, sebagaimana berikut;
- Social background : Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga, dimana seorang calon elit dibesarkan.
- Political socialization : Merupakan suatu proses yang menyebabkan seorang menjadi terbiasa dengan tugas-tugas yang harus diilaksanakan oleh suatu kedudukan politik.
- Initial political activity : Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau pengalaman politik calon elit selama ini.
- Apprenticeship : Faktor ini menunjuk langsung kepada proses “magang” dari calon elit ke elit yang lain yang sedang menduduki jabatan yang diincar oleh calon elit.
- Occupational variables : Calon elit dilihat pengalaman kerjanyadalam lembaga formal yang bisa saja tidak berhubungan dengan politik, kapasitas intelektual dalam kualitas kerjanya.
- Motivations : Orang akan termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal yaitu harapan dan orientasi mereka terhadap isu-isu politik. Selection : Faktor ini menunjukkan pada mekanisme politik yaitu rekrutmen terbukan dan rekrutmen tertutup.
Rekrutmen politik yang baik seharusnya dimulai dengan pendidikan politik
yang dilakukan secara berkesinambungan oleh partai politik. Namun banyak partai
politik tidak melakukannya karena berbagai kendala. Misalnya masalah keuangan
yang memang menjadi masalah besar dalam perkembangan partai politik di
Indonesia. Selain itu, tidak jelasnya ideologi partai politik berdampak
pula pada visi, misi dan program yang partai politik tersebut. Sukar
dinafikan partai politik di Indonesia belum memiliki tanggung jawab
mencerdaskan masyarakatnya berpolitik. Bahkan partai politik tidak dapat
melaksanakan rencana stategisnya seperti rekrutmen anggota secara
berkesinambungan, pembinaan kader secara konsisten serta pengembangan kader ke
tahap pembentukan elite politik. Ini semua merupakan bukti belum
maksimalnya fungsi partai politik di negeri ini.
Rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat juga dapat dilihat dari
kesulitan partai politik menyusun daftar calon keanggotaan legislatif yang
diajukan setiap pemilu. Tidak berjalannya pendidikan politik berdampak
pada kualitas wakil rakyat yang diajukan partai politik. Paling tidak
dari dua pemilu sebelumnya dapat diambil pelajaran siapa yang dipilih dan
bagaimana mekanisme mereka dipilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPR dan
DPRD masih belum jelas. Kurangnya kader partai dan menguatnya politik
kekerabatan berdampak pada proses penentuan calon anggota legislatif ini.
Celakanya, dengan bertambahnya partai politik peserta pemilu tahun 2009 tentu
membawa dampak pada kualitas wakil rakyat yang akan diajukan partai politik.
Sukar dinafikan rendahnya kesadaran partai politik melakukan pendidikan
politik ini telah mempengaruhi kualitas demokrasi yang dihasilkan.
Banyaknya konflik dalam Pilkada bahkan disertai dengan tindakan anarkisme
adalah bukti masih rendahnya pendidikan politik masyarakat kita. Bahkan
rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat ini sengaja dibiarkan,
agar elite partai mudah memobilisasi dukungan untuk kepentingannya. Oleh
sebab itu agar kualitas demokrasi meningkat, maka partai politik harus memberi
perhatian serius pada proses rekrutmen politik ini. Tanpa ada kepedulian
partai politik terhadap proses rekrutmen politik, maka demokrasi yang
dihasilkan tidak memberi kemanfaatan apa-apa bagi bangsa ini.
Rekrutmen Politik Pada Pemilu Legislatif 2009
Salah satu proses politik yang penting bagi partai politik menjelang
pemilu tahun 2009 adalah rekruitmen politik. Proses ini sangat menentukan
bagi kelangsungan aktivitas partai politik dan kualitas demokrasi. Betapa
tidak, penetapan calon anggota legislatif yang duduk di kursi parlemen
ditentukan oleh jumlah suara dukungan yang diperolehnya. Paling tidak
dengan 30 persen suara dukungan riil dalam pemilu dapat mengantar seorang calon
duduk menjadi wakil rakyat, meskipun dalam daftar calon legislatif nomor
urutnya termasuk nomor besar. Ini bermakna kualitas calon anggota
legislatif sangat menentukan perolehan suara partai politik dalam pemilu
mendatang.
Melihat keadaan ini dapat dipahami proses rekrutmen yang dilakukan
partai politik menjadi titik permulaan yang harus dilakukan partai politik
terutama dalam proses pengkaderan anggotanya maupun promosi elite politik
baru. Namun bagi sebagian besar partai politik di negeri ini masalah
tersebut tidaklah begitu diambil peduli. Kebanyakan partai politik hanya
berorientasi bagaimana mendapat kekuasaan secara cepat dengan biaya murah
sehingga mengabaikan rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik adalah sebagai
fungsi mengambil individu dalam masyarakat untuk dididik, dilatih sehingga memiliki
keahlian dan peran khusus dalam sistem politik. Dharapkan dari proses
rekrutmen ini individu yang dididik dan dilatih tersebut memiliki pengetahuan,
nilai, harapan dan kepedulian politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi.
Sebenarnya rekrutmen politik ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan
dari aktifitas partai politik di manapun berada. Sayangnya di Indonesia,
fungsi ini baru dapat berjalan ketika pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi
rekrutmen politik ini sebenarnya sudah dapat dijumpai terutama sejak verifikasi
partai politik dilakukan oleh KPU. Seandainya proses verifikasi
keanggotaan partai politik di tingkat akar rumput dilakukan lebih cermat oleh
KPU, maka dapat dilihat bagaimana potret partai politik kita yang sebenarnya.
Partisifasi pilitik
Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan
warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.
Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan
politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah
sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam
karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing
Countries, memberi catatan berbeda: Partisipasi yang bersifat mobilized
(dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi
sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan:
Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi
politik. Potret Indonesia
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem
politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola
partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan
sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem
Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik
Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar
Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political
Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss,
Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang
negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan
Yunani).
Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul
individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington
dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
- kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
- kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
- lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
- partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan
- golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
Mode Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang
melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar:
Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi
politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini
sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional
adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial
Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro
lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes
mahasiswa (students protest), dan terror.
Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada
faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi
politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P.
Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
- Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
- Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
- Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
- Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
- Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut
Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi
politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di
tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan,
ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah
masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik
Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk
partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka.
Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik
seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang
berlangsung di dalam skala subyektif individu.
Dimensi Subyektif Individu
Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor
psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam
partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan
tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan
Political Efficacy.
Political Disaffection. Political Disaffection adalah istilah yang
mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap
suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan
adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian
Michael J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.
Dengan banyaknya individu menyaksikan acara
televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan politik
(political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap
struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen,
kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa
struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan
mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa
protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political
disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk
partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy. Political Efficacy adalah
istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi
politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik.
Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat
pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang
menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak
tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu
atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political
Political Efficacy ini.
Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah
Political Efficacy ini adalah:
- “Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.”
- "Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.”
- “Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.”
- “Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti saya.”
Political efficacy terbagi 2 yaitu external
political efficacy dan internal political efficacy. External political efficacy
ditujukan kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh
pernyataan nomor 1 dan 3. Sementara internal political efficacy merupakan
kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan
nomor 2 dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik
menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political
efficacy rendah dan tingkat external political efficacy tinggi.
Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik.
Menurut Dusseldorp (1994:10), salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari bentuk-bentuk keterlibatan seseorang dalam berbagai tahap proses pembangunan yang terencana mulai dari perumusan tujuan sampai dengan penilaian. Bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai usaha terorganisir oleh warga masyarakat untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya public policy. Sehingga kualitas dari hierarki partisipasi politik masyarakat dilihat dalam keaktifan atau kepasifan (apatis) dari bentuk partisipasi politik masyarakat
1. Bentuk partisipasi politik secara hierarkis oleh Rush dan Althoff (1990:124) :
a) Menduduki jabatan politik atau administrasi
b) Mencari jabatan politik atau administrasi
c) Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
d) Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
e) Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
f) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
g) Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb
h) Partisipasi dalam diskusi politik informasi, minat umum dalam politik
i) Voting (pemberian suara)
j) Apathi total.
2. Bentuk partisipasi politik menurut Almond.
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan non-konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan/ketidakpuasan warga negara. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond.
Konvensional Non-konvensional
• Pemberian suara (voting) • Pengajuan petisi
• Diskusi politik • Berdemonstrasi
• Kegiatan berkampanye • Konfrontasi
• Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan • Mogok
• Komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif • Kekerasan politik terhadap harta benda: perusakkan, pemboman, dan pembakaran
• Kekerasan politik terhadap manusia: penculikkan, pembunuhan, perang gerilya/revolusi
Menurut Dusseldorp (1994:10), salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari bentuk-bentuk keterlibatan seseorang dalam berbagai tahap proses pembangunan yang terencana mulai dari perumusan tujuan sampai dengan penilaian. Bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai usaha terorganisir oleh warga masyarakat untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya public policy. Sehingga kualitas dari hierarki partisipasi politik masyarakat dilihat dalam keaktifan atau kepasifan (apatis) dari bentuk partisipasi politik masyarakat
1. Bentuk partisipasi politik secara hierarkis oleh Rush dan Althoff (1990:124) :
a) Menduduki jabatan politik atau administrasi
b) Mencari jabatan politik atau administrasi
c) Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
d) Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
e) Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
f) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
g) Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dsb
h) Partisipasi dalam diskusi politik informasi, minat umum dalam politik
i) Voting (pemberian suara)
j) Apathi total.
2. Bentuk partisipasi politik menurut Almond.
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan non-konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan/ketidakpuasan warga negara. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond.
Konvensional Non-konvensional
• Pemberian suara (voting) • Pengajuan petisi
• Diskusi politik • Berdemonstrasi
• Kegiatan berkampanye • Konfrontasi
• Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan • Mogok
• Komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif • Kekerasan politik terhadap harta benda: perusakkan, pemboman, dan pembakaran
• Kekerasan politik terhadap manusia: penculikkan, pembunuhan, perang gerilya/revolusi
Ada berbagai
bentuk partisipasi politik, terlepas dari tipe sistem politik yang
bersangkutan, yaitu: para politisi profesional, para pemberi suara,
aktifis-aktifis partai, dan para demonstaran dll. Betapapun juga penting untuk
menempatkan posisi sebenarnya dari aktifitas politik, dan melihat apakah
terdapat semacam hubungan hierarkis antara peristiwa-peristiwa tadi. Barangkali
saja, hierarki yang paling sederhana dan paling berarti ialah hierarki yang
didasarkan atas taraf atau luasnya partasipasi.
Hierarki yang
dinyatakan dibawah ini, dimaksudkan untuk mencakup seluruh jajaran partisipasi
politik dan untuk dapat diterapkan pada semua tipe sistem politik. Arti
berbagai tingkat ini, tentunya mungkin berbeda dari satu sistem politik dengan
sistem politik yang lain, dan tingkatan-tingkatan khusus menyebabkan akibat
besar pada suatu sistem, dan akibat kecil atau tanpa mempunyai akibat apapun
pada sistem lainnya.
Adalah penting
juga untuk disadari bahwa partisipasi pada satu tingkatan hierarki tidak
merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkatan yang lebih tinggi,
walaupun mungkin hal ini berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu. Hierarki
tersebut adalah sebagai berikut1 :
- Menduduki jabatan politik atau administratif
- Mencari jabatan politik atau administratif
- Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
- Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
- Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political)
- Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi political)
- Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya
- Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
- Voting (pemberi suara)
Pada puncak
hierarki terdapat orang-orang yang menduduki berbagai macam jabatan dalam
sistem politik, baik pemegang-pemegang jabatan politikmaupun anggota-anggota
birokrasi pada berbagai tingkatan. Di bawah para pemegang atau pencari jabatan
di dalam sistem politik, terdapat mereka yang menjadi anggota dari berbagai
tipe organisasi politik atau semu politik. Hal ini mencakup semua tipe partai
politik dan kepentingan.
BUDAYA DAN
PARTISIPASI POLITIK
BUDAYA POLITIK
(POLITICAL CULTURE)
•
Adalah sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yg
ada di dalam sistem itu (Almond dan Verba)
•
Adalah pola tingkahlaku individu dan orientasinya terhadap kehidupan
politik yg dihayati oleh anggota dlm satu sistem politik.
KLASIFIKASI
BUDAYA POLITIK
•
Budaya politik parokial (parochial political culture);
•
Budaya politik kaula (subject political culture)
•
Budaya politik partisipan (participant political culture)
•
Budaya politik campuran (mixed political cultures).
BUDAYA POLITIK
PAROKIAL
•
Budaya politik yg dimiliki oleh masyarakat yg masih sederhana dan
tradisional, dengan diferensiasi dan spesialisasi yg masih sangat kurang dan
belum ada, dan masyarakat politiknya terbatas. Budaya politik ini terkotak pada
suatu wilayah yg ruang lingkupnya relatif sempit seperti propinsi, kabupaten,
dsb.
BUDAYA POLITIK
KAULA
•
Merujuk pada suatu budaya politik di mana anggota masyarakat mempunyai
kepedulian terhadap output sistem politik dibandingkan peduli terhadap input
sistem politik.
•
Dalam budaya politik semacam ini, anggota2 sistem politik lebih bersifat
pasif.
BUDAYA POLITIK
PARTISIPAN
•
Ditandai oleh partisipasi aktif anggota2 sistem politik. Mereka
mempunyai kesadaran yg cukup tinggi menyangkut hak dan kewajibannya, dan dg
demikian menuntut untuk senantiasa terlibat dalam kehidupan politik.
BUDAYA POLITIK
CAMPURAN
- Parochial-subject culture
Adl suatu tipe kebudayaan politik di mana sebagian besar penduduk menola
tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal
dan telah mengembangkan kesetiaan thd sistem politik yg lebih kompleks dg
struktur2 pemerintahan pusat yg bersifat khusus.
- Subject-participant culture
Ditandai oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan
politik terhadap input-input politik, sementara pada waktu yg bersamaan
berkembang rasa ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah kebijakan.
- Parochial-participant culture (civic culture)
Di Indonesia ditandai dengan menguatnya wacana kedaerahan pasca
diterapkannya otonomi daerah.
BUDAYA POLITIK
INDONESIA
•
Menurut Budi Winarno, budaya politik Indonesia bergerak di antara
subject-participant culture dan parochial participant culture.
PARTISIPASI
POLITIK
•
Adalah keikutsertaan warganegara biasa dalam menentukan segala keputusan
yang menyangkut dan mempengaruhi hidupnya (keputusan politik).
CIRI-CIRI
PARTISIPASI POLITIK
•
Berupa kegiatan atau perilaku warganegara biasa yg dapat diamati;
•
Diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana
keputusan politik. Misalnya kegiatan untuk mendukung atau menentang keputusan
politik;
•
Kegiatan yg berhasil maupun yg gagal mempengaruhi pemerintah;
•
Kegiatan mempengaruhi pemerintah scr langsung maupun tdk langsung;
•
Kegiatan mempengaruhi pemerintah scr konvensional dan tdk
konvensional.
TIPOLOGI
PARTISIPASI POLITIK
- Menurut Milbrath dan Goel:
- Apatis, orang yg tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik.
- Spektator, setidaknya pernah ikut memilih dlm Pemilu;
- Gladiator, mereka yg secara aktif terlibat dlm proses politik.
- Pengritik, yakni dlm bentuk partisipasi tak konvensional.
- Menurut Olsen
- Pemimpin politik;
- Aktivis politik;
- Komunikator;
- Warganegara;
- Marginal;
- Orang yg terisolasikan
MODEL
PARTISIPASI POLITIK
•
Faktor2 yg diperkirakan mempengaruhi tinggi rendahnya patisipasi politik
seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah. Oleh
karenanya menurut Paige terdapat 4 tipe:
1.
Aktif;
2.
Apatis;
3.
Militan-radikal;
4.
pasif
Tipologi Partisipasi Politik
Partisipasi politik aktif berarti kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output, sedangkan partisipasi pasif hanya berorientasi pada proses output.
Milbrath dan Goel membedakan partisipasi politik memjadi beberapa kategori, (1) apatis yaitu orang yang tidak pernah berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik, (2) spektator yaitu orang yang setidaknya pernah ikut pemilu, (3) gladiator yaitu orang yang terlibat aktif dalam proses politik, (4) pengritik yaitu dalam bentuk partisipasi tak konvensional.
Olsen, membagi pertisipasi menjadi enam lapisan yaitu pemimpin politik, aktivis politik, komunikator, warga Negara, marginal, dan orang yang terisolasikan.
Partisipasi politik berdasarkan jumlah pelaku ada individual yakni seseorang yang menulis surat berisi keluhan da tuntutan kepada pemerintah atau kolektif, sedangkan kolektif adalah kegiatan warga Negara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa. Partisipasi kolektif dibagi menjadi dua yaitu partisipasi kolektif yang konvensional ( pemilu ), dan partisipasi kolektif yang tidak konvensional atau agresif ( pemogokan tidak sah, huru hara, dll ) , secara agresif dibagi lagi menjadi dua yaitu aksi yang kuat dan aksi yang lemah.
Model Partisipasi Politik
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya partisiapasi politik ialah kesadaran politik ( kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara) dan kepercayaan kepada pemerintah ( penilaian seseorang terhadap pemerintah ).
Berdasarkan tinggi-rendahnya partisipasi politik Paige membagi menjadi empat tipe, (1) aktif, jika seseorang memiliki kesadaran dan kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah, (2) apatis, jika seseorang memiliki kesadaran dan kepercayaan yang rendah terhadap pemerintah, (3) militan radikal, kesadaran politik tinggi tapi kepercayaan rendah, (4) pasif, kesadaran sangat rendah tapi kepercayaan sangat tinggi.
Partisipasi politik aktif berarti kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output, sedangkan partisipasi pasif hanya berorientasi pada proses output.
Milbrath dan Goel membedakan partisipasi politik memjadi beberapa kategori, (1) apatis yaitu orang yang tidak pernah berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik, (2) spektator yaitu orang yang setidaknya pernah ikut pemilu, (3) gladiator yaitu orang yang terlibat aktif dalam proses politik, (4) pengritik yaitu dalam bentuk partisipasi tak konvensional.
Olsen, membagi pertisipasi menjadi enam lapisan yaitu pemimpin politik, aktivis politik, komunikator, warga Negara, marginal, dan orang yang terisolasikan.
Partisipasi politik berdasarkan jumlah pelaku ada individual yakni seseorang yang menulis surat berisi keluhan da tuntutan kepada pemerintah atau kolektif, sedangkan kolektif adalah kegiatan warga Negara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa. Partisipasi kolektif dibagi menjadi dua yaitu partisipasi kolektif yang konvensional ( pemilu ), dan partisipasi kolektif yang tidak konvensional atau agresif ( pemogokan tidak sah, huru hara, dll ) , secara agresif dibagi lagi menjadi dua yaitu aksi yang kuat dan aksi yang lemah.
Model Partisipasi Politik
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya partisiapasi politik ialah kesadaran politik ( kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara) dan kepercayaan kepada pemerintah ( penilaian seseorang terhadap pemerintah ).
Berdasarkan tinggi-rendahnya partisipasi politik Paige membagi menjadi empat tipe, (1) aktif, jika seseorang memiliki kesadaran dan kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah, (2) apatis, jika seseorang memiliki kesadaran dan kepercayaan yang rendah terhadap pemerintah, (3) militan radikal, kesadaran politik tinggi tapi kepercayaan rendah, (4) pasif, kesadaran sangat rendah tapi kepercayaan sangat tinggi.
Dimensi Gerakan Sosial (social movement)
Hubungan antar-kelompok, baik yang berbentuk
hubungan antar-ras, antar-etnik, antar-agama, antar-generasi, antar-jenis
kelamin, antara penyandang cacat mental atau fisik dengan mereka yang sehat
jasmani atau rohani, ataupun antara orang-orang konformis dengan para
penyimpang, sering melibatkan gerkan sosial, baik yang diprakarsai oleh
pihak-pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh pihak-pihak yang
mempertahankan keadaan.
Contoh gerakan sosial adalah seperti yang
diberitakan dalam Majalah Times 13 November 1989 bahwa kaum homoseks di Amerika
Serikat memperjuangkan hak untuk menjadi rohaniawan agama Katholik dan berbagai
sekte dalam agama Protestan, untuk menjadi anggota angkatan bersenjata, dan
untuk menjadi guru di sekolah.
Di berbagai negara kita juga sering mendengar
kaum perempuan berorganisasi dalam gerakan pembebasan kaum perempuan dan
menentang praktik diskriminasi serta pelecehan seksual.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan gerakan
sosial?
Gerakan sosial merupakan suatu aliansi sosial
sejumlah besar orang yang berserikat untuk mendorong ataupun menghambat suatu
segi perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Gerakan sosial merupakan salah
salah satu bentuk perilaku kolektif, tetapi berbeda dengan perilaku kolektif
pada umumnya. Pada gerakan sosial ditemukan adanya “tujuan dan kepentingan
bersama”. Pada perilaku kolektif pada umumnya, setelah para supporter sepak
bola itu merusak stadion dan mobil-mobil yang diparkir, stasiun kereta api,
atau fasilitas umum lainnya, karena tidak mempunyai tujuan dan kepentingan
bersama, kemudian berhenti begitu saja.
Gerakan sosial ditandai oleh adanya tujuan
jangka panjang, yaitu untuk mengubah atau mempertahankan keadaan tertentu atau
institusi yang ada di dalam masyarakat. Sepertihalnya gerakan mahasiswa
Indonesia pada tahun 1965-1966 yang dilancarkan hampir setiap hari, bertujuan
mengubah kebijakan ekonomi pemerintahan (pembubaran kabinet, penurunan harga,
dan pembubaran Partai Komunis Indonesia). Gerakan mahasiswa di Amerika
Serikat menentang perang Vietnam pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an
baru berakhir setelah pasukan Amerika Serikat meninggalkan Vietnam Selatan.
Contoh lain, gerakan mahasiswa di China yang akhirnya ditindas dengan kekuatan
militer di lapangan Tienanmen, merupakan upaya untuk memperjuangkan demokratisasi
di Republik Rakyat China. Demikian juga Green Peace yang merupakan
gerakan sosial internasional yang melawan semua praktik yang menurut mereka
akan mengancam pelestarian lingkungan hidup.
Ada ciri lain yang dikemukakan para sosiolog,
bahwa gerakan sosial dalam melakukan perjuangannya mengambil cara-cara yang
berada di luar institusi, misalnya pemogokan, pawai dan demonstrasi tanpa izin,
mogok makan, intimidasi, konfrontasi dengan aparat keamanan, dan sebagainya.
Gerakan sosial bermacam-macam bentuknya.
Apabila dilihat berdasarkan tipe perubahan dan besarnya perubahan yang
dikehendaki, maka adalah
- Alternative Social Movements
- Redemtive Social Movements
- Reformative Social Movements
- Transformative Social Movements
Perhatikan tabel berikut!
Tipe
Perubahan Yang Dikehendaki
|
|||
Perubahan
Perorangan
|
Perubahan
Sosial
|
||
Besarnya
Perubahan Yang Dikehendaki
|
Perubahan
Sebagian
|
ALTERNATIVE
SOCIAL MOVEMENTS
|
REFORMATIVE
SOCIAL MOVEMENTS
|
Perubahan
Menyeluruh
|
RODEMPTIVE
SOCIAL MOVEMENTS
|
TRANSFORMATIVE
SOCIAL MOVEMENTS
|
Keterangan tabel:
- Alternative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan pada sebagian perilaku perorangan, misalnya gerakan anti-merokok, anti-narkoba, kampanye anti AIDS, dan sebagainya.
- Redemptive Social Movements, merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan menyeluruh pada perilaku perorangan, misalnya gerakan agar orang-orang untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya dengan lebih merujuk pada ajaran agama
- Reformative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan pada segi-segi tertentu masyarakat, misalnya gerakan kaum perempuan untuk memperoleh hak-haknya sama dengan kaum laki-laki, gerakan kaum homoseks untuk mendapatkan pengakuan akan gaya hidup mereka, dan sebagainya.
- Transformative Social Movements, merupakan gerakan sosial yang menginginkan perubahan menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya gerakan kaum Khmer Merah yang ingin mengubah masyarakat Kamboja sebagai masyarakat komunis, Revolusi di Uni Soviet tahun 30-an, Revolusi China pada tahun 1949, dan sebagainya.
Klasifikasi lain tentang gerakan sosial
dikemukakan oleh Kornblum, yaitu (1) revolutionary movements, (2) Reformist
Movements, dan (3) conservative movements.
Revolutinary Movements merupakan jenis gerakan sosial yang
menginginkan perubahan yang menyeluruh pada sendi-sendi kehidupan masyarakat,
baik itu sistem sosial, sistem budaya, sistem ekonomi, maupun sistem
politiknya.
Misalnya, revolutionary Movements
masyarakat Rusia pada tahun 1917 yang berhasil mengubah sistem sosial, budaya,
ekonomi, maupun politik Rusia menjadi sistem komunis. Demikian juga yang
terjadi di China pada 1949. Kedua peristiwa ini memenuhi syarat revolusi yang
dikemukakan oleh Antony Giddens, bahwa sebuah revolusi itu; (1) melibatkan gerakan
sosial secara massal, (2) menghasilkan proses reformasi atau perubahan,
dan (3) menggunakan ancaman dan kekerasan.
Reformative atau reformist Movements merupakan
gerakan sosial yang menginginkan perubahan pada segi-segi tertentu kehidupan
masyarakat. Misalnya gerakan Boedi Oetomo (1908) atau Syarikat Islam (1912)
yang menginginkan terpenuhinya hak-hak memperoleh pendidikan di kalangan
pribumi.
Sedangkan conservative movements,
merupakan gerakan sosial yang mempertahankan suatu keadaan atau isntitusi yang
ada dalam masyarakat Sartono Kartodirdjo (1993) memberikan gambaran
yang lebih jelas mengenai
tipologi gerakan sosial, yaitu:
1. Gerakan Millenarianisme merupakan gerakan
petani yang mengharapkan kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Mereka yakin bahwa gerakannya akan berhasil, maka akan tercipta perdamaian dan kebahagiaan
yang sempurna bahwa akan tercipta negara yang maju adil dan makmur yang berada
di bawah kepemimpinan yang adil dan jujur percaya ramalan Jayabaya yang kelak
akan tercipta negara yang aman dan makmur di bawah seorang ratu adil yang akan
membebaskan para petani dari segala penderitaan yang dialami sekarang.
2. Gerakan mesianisme merupakan gerakan petani
yang memperjuangkan datangnya seorang juru selamat, ratu adil yang akan
menegakkan keadilan dan perdamaian dalam sebuah negara yang makmur dipengaruhi
oleh mitos Jawa tentang munculnya ratu adil yang merupakan raja kebenaran, yang
akan membebaskan rakyat dari segala penyakit, kelaparan dan setiap jenis kejahatan
yang percaya kedatangan raja yang adil ini ditandai dengan bencana alam,
menurunnya martabat, kemelaratan, dan penderitaan.
3. Gerakan nativisme merupakan gerakan petani
yang menginginkan bangkitnya kejayaan masa lampau yang dipimpin oleh raja yang
adil dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Gerakan ini lebih kepribumian dengan
menginginkan tampilnya seorang pribumi sebagai penguasa yang adil seperti
terjadi pada masa sebelum datangnya penjajah.
4. Gerakan fisabilillah/perang jihad dimana
unsur Islam menjadi dasar bagi gerakan radikalisme agraria. Motivasi untuk
menciptakan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berdasarkan ajaran agama
Islam serta mengusir penjajah asing yang kafir. Gerakan ini sangat radikal
karena selalu mengantagoniskan lawan sebagai musuh yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Gerakan ini yakin bahwa apabila mereka mati dalam perlawanan terhadap
penguasa kafir maka kelak mereka akan mati syahid dan masuk syurga.
Michael Adas (1988) mengemukakan bahwa
terjadinya gerakan sosial itu disebabkan oleh:
1. Adanya ketidakpuasan yang timbul dari
pengalaman pribadi dan dendam partisipan yang dihasilkan oleh kondisi kehidupan
mereka sehari-hari (dianalisis dengan teori deprivasi relatif) yaitu adanya
persepsi atas penyimpangan antara harapan dan kapasitas ini menimbulkan
deprivasi perasaan (sense of deprivation) yang secara relatif dan kolektif
telah dialami yang membandingkan status dan kemampuan mereka satu sama lain
terhadap orang-orang yang ada pada zaman sebelumnya sehingga tercipta standar
baru yang menyebabkan tekanan dan keputusasaan yang berat dan merata sehingga
timbul gerakan protes kolektif yang direncanakan untuk memperbaiki ketegangan
dengan menutup kesenjangan antara pengharapan partisipan dan kapasitas mereka.
Tuntutan ekonomi sebagai pusat dalam satu kasus, tetapi ancaman terhadap
kepercayaan keagamaan/status sosial pun penting.
2. Adanya birokrasi kolonial dan pergantian di kalangan elit yaitu masalah keabsahan sebagai dampak administrasi kolonial yang meluas jauh di luar pengaruh yang paling nyata terhadap para pemimpin pribumi pada tingkat yang berbeda-beda.
3. Adanya Pergantian kekuasaan, legitiminasi dan deprivasi relatif yaitu munculnya perasaan terdeprevisasi secara cepat dirasakan oleh kelompokkelompok elit yang digantikan kekuasaan atau dipilih kembali sekadar sebagai pelengkap bagi agen kolonial yang menggantikan dan merampas kekuasaan mereka.
4. Adanya paksaan bagi koloni untuk membayar tanah, buruh dan pajak yang disebabkan karena pembentukan sistem administratif dan hukum colonial yang merupakan respon dari kebutuhan kapitalisme Laissez-Faire sangat penting bagi tujuan memaksa koloni untuk membayar salah satunya dengan tanam paksa.
5. Adanya pemerasan, pertikaian etnik dan deprivasi relatif. Gerakan revolusioner yang disebabkan karena terjadinya penindasan yang kejam dan kemiskinan yang menghimpit tidak selalu menggerakkan orang untuk memberontak karena potensi protes sosial dengan kekerasan lebih berhubungan dengan defrivasi relatif daripada absolut. Penguasa colonial Eropa, melalui pengunaan kekuasaan militer dan teknologi komunikasi yang lebih unggul dapat meningkatkan berbagai tuntutan yang dibebankan kepada rakyat petani dalam bentuk jasa buruh dan sejumlah produk. Di bawah pemerintahan kolonial kerangka pemikiran ekonomi yang berorientasi swasembada dipertahankan dan orang Eropa selalu bertindak secara tidak langsung melalui perantara orang pribumi non-Eropa dan imigran.
Sejarah Terbentuknya Partai Politik di Dunia
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat bersamaan dengan gagasan bahwa rakyat merupakan fakta yang menentukan dalam proses politik. Dalam hal ini partai politik berperan sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain pihak. Maka dalam perkembangannya kemudian partai politik dianggap sebagai menifestasi dari suatu sistem politik yang demokratis, yang mewakili aspirasi rakyat.
Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara Barat bersifat elitis dan aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut meluas dan berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh perlunya dukungan yang menyebar dan merata dari semua golongan masyarakat. Dengan demikian terjadi pergeseran dari peranan yang bersifat elitis ke peranan yang meluas dan populis.
Perkembangan selanjutnya adalah dari Barat, partai politik mempengaruhi dan berkembang di negara-negara baru, yaitu di Asia dan Afrika. Partai politik di negara-negara jajahan sering berperan sebagai pemersatu aspirasi rakyat dan penggerak ke arah persatuan nasional yang bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal ini terjadi di Indonesia (waktu itu masih Hindia Belanda) serta India. Dan dalam perkembanganya akhir-akhir ini partai politik umumnya diterima sebagai suatu lembaga penting terutama di negara-negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional, yaitu sebagai kelengkapan sistem demokrasi suatu negara.
Di Indonesia
Perkembangan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan masing-masing, yaitu : Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan masa merdeka.
Masa penjajahan Belanda.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.
Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islami) yang merupakan gabungan partai
partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) ya
g merupakan gabungan organisasi buruh.
Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.
Masa Merdeka (mulai 1945).
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.
TIPOLOGI PARTAI
POLITIK INDONESIA
Diposkan oleh
Idil Akbar
Dengan sistem banyak
partai, Indonesia – bisa dikatakan – mengalami degradasi dalam bidang politik.
Betapa tidak sistem multi partai merupakan sistem kepartaian yang sangat
kompleksitas dan merumitkan, terutama bagi kalangan konstituen (pemilih), yakni
rakyat. Dalam pengertiannya, sistem banyak partai merupakan suatu sistem yang
terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk
dari stuktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial
ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan
dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik
tersendiri.
Dengan memperhatikan
karakteristik partai yang ada saat ini, maka jelas bahwa tipologi partai
politik Indonesia memenuhi kriteria seperti di atas. Kemudian apa yang dimaksud
dengan tipologi partai politik itu? Tipologi partai politik adalah
pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan kriteria tertentu,
seperti asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, basis sosial dan
tujuan.
Berdasarkan asas dan
orientasinya, partai politik diklasifikasikan menjadi tiga tipe, meliputi
partai politik pragmatis, partai politik doktriner, dan partai politik
kepentingan. Kemudian berdasarkan komposisi dan fungsi anggotanya, partai
politik dapat digolongkan menjadi dua, yaitu partai massa atau lindungan dan
partai kader. Sedangkan berdasarkan basis sosial dan tujuannya, partai politik
dapat dibagi dua, yakni berdasarkan asas sosial dan berdasarkan tujuan.
Berdasarkan basis sosial, Almond
menggolongkan partai menjadi empat tipe, pertama, partai politik yang
beranggotakan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, seperti kelas atas,
menengah, dan bawah. Kedua, partai politik yang anggotanya berasal dari
kalangan kelompok kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, dan pengusaha. Ketiga,
partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu,
seperti Islam, Katolik, Propesten, dan Hindu. Empat, partai politik yang
anggota-anggotanya berasal dari kelompok budaya tertentu, seperti suku bangsa,
bahasa, dan daerah tertentu. Dan berdasarkan tujuan, partai politik dibagi
menjadi tiga. Pertama, partai perwakilan kelompok, kedua, partai
pembinaan bangsa, dan ketiga, partai mobilisasi.
Dari penggolongan tipologi
di atas, maka kategorisasi partai politik-partai politik Indonesia termasuk
dalam tipologi berdasarkan komposisi dan fungsi anggota. Dalam buku “Memahami
Ilmu Politik” karangan Ramlan Surbakti, yang termasuk tipologi ini adalah
partai massa atau lindungan (patronage) dan partai kader. Di sini
dikatakan bahwa partai massa merupakan suatu partai politik yang mengandalkan
kekuatan pada keunggulan jumlah anggota dengan cara memobilisasi massa
sebanyak-banyaknya, dan mengembangkan diri sebagai pelindung bagi berbagai
kelompok dalam masyarakat sehingga pemilihan umum dapat dengan mudah
dimenangkan, dan kesatuan nasional dapat dipelihara, tetapi juga masyarakat
dapat dimobilisasi untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan tertentu. Hampir
sebagian besar partai politik yang ada saat ini termasuk dalam kategorisasi
ini.
Walau secara kuantitas
yang termasuk tipologi ini memiliki massa pendukung yang sangat besar, akan
tetapi partainya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan partai ini tampak pada
saat pembagian kursi (jabatan) dan pada perumusan kebijakan karena karakter dan
kepentingan setiap kelompok dan aliran sangat menonjol. Keputusan serta
kebijakan yang dikeluarkan seringkali tidak bisa diterima oleh setiap orang.
Kemudian yang dimaksud
dengan partai kader adalah suatu partai yang mengandalkan kualitas anggota,
ketetatan organisasi, dan disiplin anggota sebagai sumber kekuatan utama.
Seleksi keanggotaan dalam partai kader biasanya sangat ketat, yaitu melalui
kaderisasi yang berjenjang dan intensif, serta penegakan disiplin partai yang
konsisten dan tanpa pandang bulu. Struktur organisasi partai ini sangat
hierarkis sehingga jalur perintah dan tanggung jawab sangat jelas. Karena
sifatnya yang demikian, partai kader acap kali disebut sebagai partai yang
elitis. Partai Keadilan Sejahtera termasuk dalam kategori ini.
Pengertian Civil Society
Civil Society mungkin masih terdengar asing di
kalangan masyarakat Indonesia untuk lebih mudah memahaminya kita dapat
menstransfernya dengan bahasa yang lebih ringan Civil Society juga dapat
dipahami dengan arti masyarakat madani masyarakat madani adalah masyarakat
sipil masyarakat yang tanggap dan juga beradab dan tentunya masyarakat yang
memiliki budaya dan dapat menjaga budaya aslinya meskipun terjadi pertukaran
budaya yang besar – besaran saat ini. Masyarakat madani adalah suatu konsep
yang diambil oleh Indonesia dari Kota Madinah, dimana Kota Madinah ini telah
mempunyanyi peradaban yang sudah sangat lama dan baik dibawah kepemimpinan Nabi
Muhammad saw yang hingga saat ini masih dinilai sebagai peradaban tertinggi.
Dahulunya Madinah tersebut bernama asli Yasrib yang berada di wilayah Arab.
Madani tersebut berate Kota (city state) sedangkan dalam bahasa
Yunani disebut dengan Polis yang artinya juga sama yaitu kota. Civil
Society merupakan satu cara untuk memahami relasi antara individu
dan negara yang melestarikan kebebasan dan tanggungjawab.
Pengertian Civil Society menurut Jean L. Kohen dan Andrew Arato (1992) adalah Modern
Civil Society is based on egalitarian principle and universal inclusion
experience in articulating the political will and in collective decision making
is crucial to the reproduction of democracy . Civil Society yang
dimakasudkan adalah suatu masyarakat sipil yang didasari oleh kesetaraan dan
selain itu juga masyarakat yang mampu mempengaruhi kebijakan umum serta
masyarakat yang didasari oleh demokrasi sehingga dapat membentuk masyarakat
yang mandiri.
Civil Society, dua kata tersebut kurang popular di ruang lingkup masyarakat
Indonesia jika diubah ke Bahasa Indonesia artinyya adalah masyarakat sipil.
Kebanyakan masyarakat pada umumnya mengertekaikan antara kata sipil dengan
militer oleh karena itu kata tersebut masih terasa asing di lingkungan
masyarakat Indonesia. Berbeda dengan masyarakat madani , meski tidak semua
memahami apa arti masyarakat madani tersebut namun sudah tidak asing di
telingan masyarakat Indonesia. Namun sebenarnya memang tidak ada perbedaan
antara Masyarakat madani , Civil Society dan masyarakat sipil tersebut.
Suatu kondisi kehidupan masyarakat yang tegak
diatas prinsip – prinsip egaliterisme-sederajat dan inklusivisme
universal. Secara konkret, masyarakat sipil bisa terwujud bebagai organisasi
yang berada di luar institusi pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan untuk
melakukan counter hegemoni yang sudang pasti dapat mempengaruhi kebijakan umum.
Sejarah dan Perkembangan Civil Society di
Indonesia
Fase pertama, dikembangkan
oleh:
Aristoteles (384-322 SM)
Civil Society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan
menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik
tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik
dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike digunakan untuk
menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya
berkedudukan sama di depan hukum.
Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
Masyarakat sipil atau societies civilies
,yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah ini lebih
menekankan pada konsep negara kota (city state), yakni untuk
menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya, sebagai
kesatuan yang terorganisasi.
Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Hobbes, masyarakat madani harus
memiliki kekuasaan mutlak agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara
ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
John Locke (1632-1704 M)
Kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah
masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah
yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi
warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Fase kedua, dikembangkan oleh:
Adam Fergusson (1767)
Ia menekankan masyarakat madani pada sebuah
visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk
mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan
munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.
Fase ketiga, dikembangkan oleh:
Thomas Paine (1792)
Ia menggunakan istilah masyarakat madani
sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan
negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian,
maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan
dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya
kesejahteraan umum. Masyarakat madani menurut Paine adalah ruang dimana
warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Fase keempat, dikembangkan oleh:
GWF Hegel (1770-1851 M)
Struktur sosial terbagi atas 3 entitas, yakni
keluarga, masyarakat madani dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi
pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan.
Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan
berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi.
Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi
kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap
masyarakat madani.
Karl Mark (1818-1883)
Masyarakat madani sebagai “ masyarakat borjuis”
dalam konteks kehidupan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala
bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan
untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci(1891-1837 M)
Ia tidak memahami masyarakat madani sebagai
relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Gramsci memandang adanya
sifat kemandirian dan politis pada masyarakat sipil, sekalipun keberadaannya
juga amat dipengaruhi oleh basis material.
Fase kelima, dikembangkan oleh:
Alexis de Tocqueville (1805-1859)
Masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang
kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat
madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan
tertwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam masyarakat
madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan
negara.
Strategi
Membangun Civil Society di Indonesia
Integrasi nasional dan
politik
Strategi ini berpandangan bahwa sistem
demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki
kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
Reformasi sistem politik
demokrasi
Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun
demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi.
Membangun masyarakat madani sebagai basis
yang kuat ke arah demokratisasi.
Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap
realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategim ini lebih
mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah
yang makin luas.
Ada beberapa pengertian konflik menurut
beberapa ahli.
- Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
- Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
- Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan
bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya
ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas
pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sedang
menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan
manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan
pendapat, persaingan dan permusuhan. Perbedaan pendapat tidak selalu berarti
perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka
perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat
hubungannya denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan
hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak
sama dengan konflik namun mudah menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada
persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang
disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa
saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan
bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri tidak selalu
harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang
ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat
positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.
PERBEDAAN PANDANGAN TRADISIONAL INTERAKSI
MENGENAI KONFLIK.
Perubahan Pandangan Tentang Konflik. Pandangan
tradisional. Pandangan tradisional tentang konflik antar kelompok terjadi
antara tahun 1930-an dan tahun 1940-an. Pandangan ini menganggap bahwa semua
konflik adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari. Konflik dilihat
sebagai hasil yang disfungsional sebagai akibat dari buruknya komunikasi,
kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara anggota organisasi, dan
kegagalan manajer untuk memberikan respon atas kebutuhan dan aspirasi dari para
pekerja. Pandangan Aliran Hubungan Manusiawi. Pandangan aliran hubungan
manusiawi menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi
secara alami dalam setiap kelompok dan organisasi. Karena keberadaan dari
konflik dalam orang tidak dapat dihindari, maka aliran hubungan manusiawi
mendukung penerimaan dari konflik tersebut dan menyadari adakalanya konflik
tersebut bermanfaat bagi prestrasi suatu kelompok. Pandangan hubungan manusiawi
mendominasi teori tentang konflik pada akhir tahun 1940-an sampai pertengahan
tahun 1970-an. Pandangan Interaksionis. John Aker dari IBM menjelaskan –
pandangan baru tentang konflik yang disebut sebut sebagai persepektif
interaksionis. Kalau pendekatan aliran hubungan manusiawi menerima keberadaan
dari konflik, maka pendekatan interaksionis mendorong konflik pada keadaan yang
“harmonis tidak adanya perbedaan pendapat yang cenderung menyebab organisasi menjadi
statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan
inovasi. Sumbangan utama dari pen dekatan interaksionis adalah mendorong pimpinan
organisasi untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu
menimbulkan semangat clan kreativitas kelompok.
SUMBER – SUMBER UTAMA PENYEBAB KONFLIK.
Dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar
yaitu faktor intern dan factor ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan
beberapa hal:
1. Kemantapan organisasi Organisasi yang telah
mantap lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak mudah terlibat konflik dan
mampu menyelesaikannya. Analoginya dalah seseorang yang matang mempunyai
pandangan hidup luas, mengenal dan menghargai perbedaan nilai dan lain-lain.
2. Sistem nilai Sistem nilai suatu organisasi
ialah sekumpulan batasan yang meliputi landasan maksud dan cara berinteraksi
suatu organisasi, apakah sesuatu itu baik, buruk, salah atau benar.
3. Tujuan Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para anggotanya.
4. Sistem lain dalam organisasi Seperti sistem komunikasi, sistem kepemimpinan, sistem pengambilan keputusan, sisitem imbalan dan lain-lain. Dlam hal sistem komunikasi misalnya ternyata persepsi dan penyampaian pesan bukanlah soal yang mudah. Sedangkan faktor ekstern meliputi :
3. Tujuan Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para anggotanya.
4. Sistem lain dalam organisasi Seperti sistem komunikasi, sistem kepemimpinan, sistem pengambilan keputusan, sisitem imbalan dan lain-lain. Dlam hal sistem komunikasi misalnya ternyata persepsi dan penyampaian pesan bukanlah soal yang mudah. Sedangkan faktor ekstern meliputi :
1. Keterbatasan sumber daya Kelangkaan suatu
hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat berakhir menjadi
konflik.
2. Kekaburan aturan/norma di masyarakat Hal ini
memperbesar peluang perbedaan persepsi dan pola bertindak.
3. Derajat ketergantungan dengan pihak lain Semakin
tergantung satu pihak dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.
4. Pola interaksi dengan pihak lain Pola yang
bebas memudahkan pemamparan dengan nilai-nilai ain sedangkan pola tertutup
menimbulkan sikap kabur dan kesulitan penyesuaian diri.
TEKNIK – TEKNIK UTAMA UNTUK MEMECAHKAN KONFLIK.
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
1. Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat
digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer perawaran harus
mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika
belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
2. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan
Kehidupan: Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai
tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang
berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih
tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk
menduduki jabatan yang lebih tinggi.
3. Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan
menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat
dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi
yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai
satu cara hidup.
4. Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan
secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan
bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar,
mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa
mereka telah mendengarkan.
Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung
pada :
q Konflik
itu sendiri
q
Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya
q
Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik
q
Pentingnya isu yang menimbulkan konflik
q
Ketersediaan waktu dan tenaga
BENTUK KONFLIK
SOSIAL
Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara.
Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain. Sedangkan Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara.
Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik
yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada
manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999)
mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat,
yaitu:
1. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau
yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
2. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki
lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang
sama.
3. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya
nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga
konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan
organisasi.
4. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada
ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang
dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
Bentuk
Pengendalian Konfik
Pengendalian Konflik
Konflik tidak akan terjadi apabila masyarakat dapat dikendalikan dengan baik,
sehingga kerugian akibat dari konflik dapat ditekan sedemikian rupa. Ada tiga
macam bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu:
a. Konsiliasi
Merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang utama. Pengendalian ini
terwujud melalui lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan
pengambilan keputusan. Pada umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat
politik. Lembaga parlementer yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok
kepentingan akan menimbulkan pertentangan-pertentangan. Untuk menyelesaikan
permasalahan ini, biasanya lembaga ini melakukan pertemuan untuk jalan damai.
Untuk dapat berfungi dengan baik dalam melakukan konsiliasi, maka ada empat hal
yang harus dipenuhi yaitu:
1) Lembaga tersebut merupakan lembaga yang
bersifat otonom.
2) Kebudayaan lembaga tersebut harus bersifat
monopolitis.
3) Peran lembaga tersebut harus mengikat
kepentingan semua kelompok.
4) Peran lembaga tersebut harus bersifat
demokratis.
b. Mediasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat konsensus di
antara dua pihak yang bertikai untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan
netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Pengendalian ini sangat
berjalan efektif dan mampu menjadi pengendalian konflik yang selalu digunakan
oleh masyarakat. Misalnya pada konflik berbau sara di Poso, dimana pemerintah
menjadi mediator menyelesaikan konflik tersebut tanpa memihak satu sama
lainnya.
c. Arbitrasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang
bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang
memberikan keputusan untuk menyelesaikan konflik. Ketiga jenis pengendalian
konflik ini memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari
kemungkinan terjadinya ledakan sosial dalam masyarakat.
Dampak Konflik Sosial
Konflik sosial
memiliki dampak yang bersifat positif dan negatif. Adapun
dampak positif dari konflik social adalah
sebagai berikut:
1. Konflik dapat memperjelas berbagai aspek
kehidupan yang masih belum tuntas.
Universitas Sumatera Utara2. Adanya konflik
menimbulkan penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
3. Konflik dapat meningkatkan solidaritas
diantara angota kelompok.
4. Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan
terhadap individu atau kelompok.
5. Konflik dapat memunculkan kompromi baru.
Adapun dampak
negatif yang ditimbulkan oleh konflik sosial adalah
sebagai berikut:
1. Konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan
antara individu dan kelompok.
2. Konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta
benda dan jatuhnya korban jiwa.
3. Konflik menyebabkan adanya perubahan
kepribadian.
4. Konflik menyebabkan dominasi kelompok
pemenang
Resolusi Konflik
Bagaimana Menghadapi dan Mengatasi Konflik? Para
psikolog bersepakat bawah konflik haruslah diselesaikan demi mencegah timbulnya
kebuntuan dan tuduhan, serta untuk melancarkan (kembali) komunikasi dan
hubungan baik. Anda mungkin bertanya, “Bagaimana?” Sederhana. Berikut ini, enam
model pendekatan yang berbeda, sebagai bentuk respon dalam menyelesaikan
konflik: penyelamatan diri, bertarung, menyerah, menghindari tanggung jawab,
kompromi, atau mencapai kesepakatan.
1. Kabur
Ini sama dengan menyelamatkan, meloloskan, atau
melarikan diri. Dalam hal ini, konflik tidak diselesaikan, maka menyisakan
situasi yang sama dengan kondisi semula. Mudah disimpulkan, bahwa kedua belah
pihak tidak mendapatkan hasil apa pun. Situasinya: kalah-kalah.
2. Bertarung
Dia menghadapi konflik dengan agresif, hanya untuk
satu tujuan: MENANG. Tapi, menang sendirian di satu pihak saja, dengan
mengalahkan pihak lain, tidaklah cukup (baik). Pendekatan satu ini terjadi
dengan menaklukkan pihak lain, sembari menegaskan posisi/kepentingannya saat ia
menghadapi penolakan dari pihak lain. Hasil akhirnya berupa situasi
menang-kalah.
3. Menyerah
Dia mengambil posisi menyerah, menyelesaikan
konflik dengan mengundurkan diri. Hasilnya berupa situasi kalang-menang.
4. Menghindari tanggung jawab
Dia merasa kewalahan mengatasi konflik,
karenanya dia sering hanya mendelegasikan wewenang –beserta dengan potensi
konfrontasi yang mungkin terjadi– kepada otoritas (pihak) lainnya, biasanya ke
pihak yang lebih berwenang. Pemegang otoritas baru ini menyelesaikan konflik
untuknya, tapi tidak secara bijaksana. Atau lebih buruk lagi, tidak sesuai
dengan harapan ideal si pemberi wewenang. Ada resiko buruk yang bisa terjadi,
yakni masing-masing pihak akan merasa kalah. (Situasi: kalah-kalah).
5. Berkompromi
Bergantung pada bagaimana Anda memahami, sebuah
kompromi adalah solusi yang “dapat diterima” oleh kedua belah pihak. Sering
dirasakan meskipun solusinya tidaklah ideal, tapi kondisi ini memang beralasan,
mengingat adanya pergolakan yang ada (menang-kalah/menang-kalah).
6. Gapai kesepakatan
Konsensus, kesepakatan bersama, sebagai hasil
dari pengembangan solusi baru dari kedua pihak. Hasilnya berkebalikan dengan
kompromi, berbentuk situasi menang-menang bagi kedua pihak. Ini dapat terjadi,
karena tak satupun pihak yang diharuskan untuk mundur, untuk kemudian menyerah
atau putus asa. Bahkan, kedua pihak mengembangkan kerangka persetujuan dari
“alternatif ketiga” secara bersama-sama.
Contoh
sederhana, adanya kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah mengenai harga
mati NKRI.
Proses
integrasi disebabkan adanya, kebersamaan sejarah, ada ancaman dari luar yang
dapat mengganggu keutuhan NKRI, adanya kesepakatan pemimpin, homogenitas social
budaya serta agama ,dan adanya saling ketergantungan dalam bidang politik dan
ekonomi. Istilah integrasi nasional merujuk kepada perpaduan seluruh unsur
dalam rangka melaksanakan kehidupan bangsa, meliputi social,budaya, ekononi,
maka pengertian integrasi nasional adalah menekankan pada persatuan persepsi
dan prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Kembali
ke persoalan integrasi, istilah integrasi politik dari pada istilah integrasi
Nasional, istilah elit politik tidak hanya mencakup kepada perbedaan elit
masyarakat saja, dan juga integrasi tutorial tidak hanya persoalan integrasi
wilayah, kita melihat elit massa dan tutorial adalah penyebab yang paling
rentan terhadap persoalan integrasi nasional.
Integrasi
adalah proses dimana komponen yang berbeda bergabung menjadi satu. Dalam
sosiologi dan politik integrasi merupakan istilah yang banyak digunakan untuk menggambarkan
penggabungan dari beberapa kelompok dalam masyarakat untuk menafsirkan suatu
hal. Salah satu ciri dari integrasi sosial yaitu kedua kelompok membuat
modifikasi / perubahan, misalnya kebiasaan atau tradisi. Ketika ada penyesuaian
sepihak disebut asimilasi.
Integrasi
sosial berkaitan erat dengan perubahan individu yang masuk ke lingkungan baru
di mana seorang individu harus disosialisasikan ke seluruh masyarakat. Individu
harus disosialisasikan ke masyarakat, untuk menciptakan kebersamaan dan menciptakan
kesatuan yang utuh dalam suatu komunitas masyarakat.
Pengertian
Demokrasi
Dari
situs wikipedia bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa Pengertian Demokrasi adalah sebuah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sedangkan
secara Bahasa Arti demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Isitilah “demokrasi”
berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM.
Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang
berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah
berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad
ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Demokrasi
merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah
satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan
dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga
jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
0 komentar:
Posting Komentar